Minggu, 02 November 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FIQH DAN USHUL FIQH

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FIQH DAN USHUL FIQH
Pendahuluan
                                                                                                                
Ulama sependapat bahwa di dalam syariat islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak-tanduk manusia, baik perkataan dan perbuatan. Hukum-hukum itu adakalanya disebutkan secara jelas serta tegas dan adakalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk memahami hukum islam islam yang hanya dalam bentu dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum diperlukan upaya yang sungguh-sungguh  oleh para mujtahid untuk menggali hokum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam yang disebut dengan fiqh. .(Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 1)
Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw. (Ahmad Sahal Hasan, Lc, Sejarah Ushul Fiqh, dakwatuna.com)
Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’an dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya. Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya. (Ahmad Sahal Hasan, Lc, Sejarah Ushul Fiqh, dakwatuna.com)
Sejarah perkembangan ilmu fiqh terbagi kepada beberapa periode: periode pertumbuhan, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama samapi pada masa Dinasti Amawiyyin, periode kesempurnaan, periode kemunduran, periode pembangunan kembali.

Sejarah  Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh

A.    Sejarah Perkembangan Fiqh
Para Ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada beberapa periode.
Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan(Bi’tsah) Nabi Muhammad sampai beliau wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.(Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 13)
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw. (Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij Al Ijtihad Fi Al Islam, hal. 43)
Kedua, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) sampai  dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam. .(Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 15)
Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adatbudaya dan tradisiyang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum. (Ibnu Al Qayyim, I’lam Al Muwaqqi’in, Dar Al Kutub Al Haditsah, I, hal. 12)
Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar dirasah islamiyah pada masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H-350H/720-961M). Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan pembukuan hokum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan secara intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan pendapat-pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqh. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 17).
Pada masa ini lahirlah pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya besarnya, seperti Imam Abu Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu Yusuf(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitab al-Muwatha’, Imam Syafe’I dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid-muridnya masing-masing. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 18)
Diantara factor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
1.       Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
2.      Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para ulama.
3.      Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan kitab-kitab lainnya.
Keempat, periode kemunduran-sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan karena hanya menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya-yang dimulai pada pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir 13H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat tahun 1876M. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 18)
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah-akibat berbagai konflik politik dan berbagai factor sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari kekuasaanya. Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat umjtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan. Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya;Al-Qur’an dan hadist. Mereka  puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat tersebut ke dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian mengantarakan umat islam terperangkap kea lam pkikiran yang jumud. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 18)
Kelima, periode pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, social, dan gerakan intelektual lainnya. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 23).
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak di antara pembaharuan itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan kembali kepada Al-Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat dan tabi’in terdahulu. Mereka inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad Abdul Wahab di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain sebagainya. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 24)
2. Sejarah Perkembagan Ilmu Ushul Fiqh
Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak menjelaskannya. (islamwiki.com18/05/10)
Pada umumnya, sesuatu itu ada baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan. (islamwiki.com18/05/10)
 Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.
 Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) danSunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah.
Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam,jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat. (islamwiki.com18/05/10)
Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa tabi’in, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabi’in tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat.
Setelah lewat masa tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan. (islamwiki.com18/05/10)
Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.(islamwiki.com18/05/10)
Ilmu ushul fiqh muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka. (islamwiki.com18/05/10)
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita temukan. (ensklopediaislam.com/18/05/10)
Menurut Abdul Al-Wahab Khalaf, Muhammad bin Idris Al-Syafi’I (150-102H) yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul Fiqh yang disertai dengan alasan-alasanya dalam kitabnya ar-Risalah . Inilah kitab ilmu suhul fiqh pertama yang sampai kepada kita. Oleh sebab itu, Imam Syafe’ilah yang dipandang-oleh para ulama-sebagai pencipta ilmu ushul Fiqh dan dilanjutkan oleh pembahansan ulama-ulama generasi berikutnya. (Wahab Khallaf, op.cit, hlm 15-17)

Kesimpulan
Untuk memahami hukum islam islam yang hanya dalam bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum diperlukan upaya yang sungguh-sungguh  oleh para mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam yang disebut dengan fiqh.
Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Perkembangan ushul fiqh banyak mengalami periode-periodenya diantaranya: periode pertumbuhan, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama samapi pada masa Dinasti Amawiyyin, periode kesempurnaan, periode kemunduran, periode pembangunan kembali.

Daftar Pustaka
Koto, Alaidin, 2004, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Rajawali Press Jakarta
islam Wikipedia.com/18/05/10
Ensklopedia Islam.com/18/05/10
Google.com/18/05/10
Ibnu Al Qayyim, I’lam Al Muwaqqi’in, Dar Al Kutub Al Haditsah,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar