TUGAS TEORI AKUNTANSI
"PENDAPATAN"
"KASUS PENDAPATAN SEWA KONTRAK ATAS PENGELOLAAN JICT (Jakarta Internasional Container Terminal) ANTARA PELINDO II DENGAN HPH (Hutchinson Port Holding).
PENGANTAR
Pendapataan
dapat didefenisi dari beberapa konsep. Dengan konsep aliran masuk pendapatan
adalah kenaikan aset. Dari konsep aliran keluar, pendapatan adalah penyerahan
produk yang diukur atas dasar penghargaan produk tersebut. Secara netral,
pendapatan adalah produk perusahaan sebagai hasil dari upaya produktif.
Pendapatan diukur dengan jumlah rupiah aset baru yang diterima dari pelanggan.
Dari defenisi
diatas, dapat didaftar karakteristik-karakteristik atau kata-kata kunci dari
membentuk pengertian pendapatan dan untung. Yang membentuk pengertian
pendapatan adalah:
Aliran masuk
atau kenaikan aset (inflows or other enhancements of assets,the amount of new
assets received from costomers, flow of funds the customers, increases in
economic benefits, gross increases in assets).
1. Kegiatan yang
merepresentasi operasi utama atau sentral yang menerus (activities that
constitute the entity’s ongoing major or central operations, in the course of
the ordinary activities, producing goods,deliverings good, rendering servise,
profit-directed activities).
2. Pelunasan,
penurunan, atau pengurangan kewajiban ( settelments of liabilities, decreases
in liabilities,gross decreases in liabilities).
3. Suatu entitas
( of an entity, of an enterprise).
4. Produk
perusahaan ( goods an service, produck of the enterprise)
5. Pertukaran
produk ( exchange of the product).
6. Menyandang
beberapa nama atau mengambil beberapa bentuk (sales, fees, interest, dividends,
royalties, and rents).
7. Mengakibatkan
kenaikan ekuitas ( result in increases in equity, change owners equity).
Karakteristi
(3) dan (8) sebenarnya merupakan penjabaran atau konsekuensi dari ketiga
karakteristik sebelumnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa karakteristik
(1) dan (2) merupakan karakteristik utama, sedangkan lainnya merupakan karakteristik
konsenkuensi, pendukung atau penjelas. Untuk dapat mengatakan ada atau timbul,
harus terjadi transaksi atau kejadian yang menaikan aset atau menimbulkan
aliran masuk aset. Tidak semua kenaikan aset dapat menimbulkan pendapatan.
Menuryu Paton dan Littelton (1970, Hal 47) bahwa aset dapat bertambah karena
berbagai transaksi, kejadian, atau keadaan sebagai berikut:
1.
Transaksi pendanaan yang
berasal dari kreditor dan invesrtor.
2.
Laba yang berasal dari
kegiatan investasi, misalnya penjualan aset tetap, surat berharga, segmen
bisnis, dan anak perusahaaan.
3.
Hadiah, donasi, atau
temuan.
4.
Revaluasi aset yang
telah ada.
5.
Penyedian dan atau
penyerhan produk barang dan jasa.
Hanya
kegiatan (5) diatas yang masuk dalam kategori sumber pendapatan. FASB dan APB tidak
memasukkan kegiatan (2) sebagai sumber pendapatan karena merupakan jumlah neto
dan bukan merupakan kegiatan opersai sehingga mereka memasukkannya sebagai
elemen untung (gains). Tidak semua kenaikan aset diatas membentuk pendapatan.
Kegiatan utama atau sentral yang menerus atau berlanjur merupakan karakteristik
yang membatasi kenaikan yan dapat disebut pendapatan. Kenaikan aset harus
berasal dari kegiatan operasi dan bukan kegiatan investasi dan pendanaan.
Kegiatan operasi ini diwujudkan dalam bentuk memproduksi dan mengirim berbagai
brang kepada pelanggan atau menyerahkan atau melaksanakan berbagai jasa.
Pengertian
operasi utama menunjukan kegiatan sebagaimana pengertian operasi dalam
klasifikasi kegiatan yang membentuk statement aliran kas yaitu operasi
(operating), investasi (investing), dan pendanaan (financing). Dengan demikian
yang disebut pendapatan adalah kenaikan aset yang beroperasi uatama ini dan
bukan dengan investasi dan pendanaan. Akan tetapi pendapatan atau untung yang
tidak berasal dari operasi utama dengan sendirinya lalu dapat disebut sebagai
pos nonoperasi. Produk yang dihasilkan secara tidak rutin atau insidental
sering dianggap sebagai pos pendapatan “nonoperasi” dan dipisahkan
penyajiannya. Pembedaan memang perlu tetapi mengklasifikasinya sebagai
nonoperasi dapat menyesatkan daalam pengukuran kinerja atau daya melaba
perusahaaan. Pendapatan tidak hanya didefenisi dari sudut kenaikan aset tetapi
juga penurunan atau pelunasan kewajiban. Hal ini terjadi bila suatu entitas
telah mengalami kenaikan aset sebelumnya, misalnya menerima pembayaran dimuka
dari pelanggan. Penerimaan ini bukaan merupakan pendapatan karena perusahaan
belum melakukan prestasi yang menimbulkan hak penuh atas aset yang diterima.
Pengakuan
adalah pencatatan nilai rupiah secara resmi kedalam sistem akuntansi, sehingga
jumlah tersebut terefleksi dalam statement keuangan. Pendapatan sebagai produk perusahaan
tidak mengsyaratkan beberapa jumlahnya dan kapan harus dicatat, tetapi lebih
mengsyaratkan bahwa pendapataan memang ada atau terwujud (to exist). Pengakuan
pendapatan tidak boleh menyimpang dari landasan konseptual. Secara konseptual
pendapatan hanya diakui kalau memenuhi kualitas kertukuran (measuralibility)
dan keterandalan (reability).
Pembentukan
pendapatan adalah suatu konsep yang berkaitan dengan masalah kapan dan
bagaimana sesungguhnya pendapatan itu timbul atau menjadi ada. Apakah
pendapatan itu timbul karena kegiatan produktif atau karena kejadian tertentu
(misalnya penjualan). Sebelum penjualan terjadi, pendapatan dianggap sudah
terbentuk seiring dengan berjalannya operasi perusahaan. Operasi perusahaan
meliputi kegiatan produksi, penjualan, dan pengumpulan piutang.
Pendapatan
diakui harus terialisasi dan terbentuk. Pendapatan terbentuk dengan terjadinya
seluruh kegiatan perusahaan. Pendapatan terealisasi dengan adanya perubahan
bentuk produk menjadi aset lain melalui transaksi pertukaran. Saat penjualan
merupakan saat yang paling utama dan menjadi standar dalam pengakuan pendapatan
karena pada saat itu pendapatan telah terbentuk dan terealisasi. Keberatan
terhadap dasar penjualan dapat diatasi secara mudah dengan pencandangan kos
purna-jual, potongan tunai, kembalian, dan kerugian piutang.
Pengakuan
pada saat kontrak, atas dasar kemajuan produksi, pada saat produksi selesai,
dan pada saat kas terkumpul merupakan penyimpangan dari pengakuan standar atas
dasar penjualan. Pada saat kontrak, pendapatan tidak dapat diakui karena belum
terjadi pembentukan pendapatan. Dengan konsep homogenitas kos serta upaya dan
hasil, pendapatan dapat diakui atas dasar tingkat selesainya produksi bila
perioda dipertahankan sebagai takaran pengukuran laba. Pengakuan semacam ini
mungkin tidak perlu dilakukan bilamana takaran pengukuran laba adalah order
atau kontrak pekerjaan. Pendapatan dapat diakui pada saat produk selesai
bilamana syarat cukup pasti terealisasi dipenuhi.
Tentang Pelindo II
PT Pelabuhan
Indonesia II (Persero) atau
disingkat Pelindo II adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang Jasa
Kepelabuhanan. Indonesia merupakan
negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya adalah perairan dan terletak pada
lokasi yang strategis karena berada di persilangan rute perdagangan dunia.
Sehingga peran pelabuhan dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi maupun mobilitas sosial dan perdagangan di
wilayah ini sangat besar. Oleh karenanya pelabuhan menjadi faktor penting bagi
pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian negara.
KASUS
Pendapatan sewa kontrak
atas pengelolaan JICT( Jakarta Internasional Container Terminal) antara pelindo ii dengan HPH (Hutchinson
Port Holding). Dalam kontrak
pertama, pelindo II berhak atas royalti sebesar 15% dari pendapatan. Sementara, HPH berhak atas technical
knowhow sebesar 14,08% dikalikan laba setelah dikurangi pajak (laba
bersih).
"Saat
kontrak pertama, komposisi sahamnya, Pelindo II 48,9 persen, HPH 51 persen dan
kopegmar (koperasi pegawai maritim) 0,1 persen," terang Sukur. Alih-alih
menunggu masa kontrak habis, Dirut Pelindo II RJ Lino justru meneken
perpanjangan kontrak HPH pada 2014. Padahal, kontraknya baru rampung pada 2019. Dalam kesepakatan baru yang dibuat
Lino itu, Pansus mencurigakan beberapa hal. Pertama, kontrak kedua meniadakan
sistem royalti menjadi sewa (rent) untuk Pelindo II senilai US$
85 juta per tahun.
Kedua, jatah HPH
atas technical
knowhow 14,08% dari laba bersih dihapus. Ketiga,
komposisi andil di JICT bergeser. Di mana Pelindo II berhak atas 51% saham dan
HPH 49%.
"Selama ini, RJ Lino bilang sudah
berhasil memberikan keuntungan kepada Pelindo II. Kita melihat justru
sebaliknya. Malah potensi kerugian lebih besar. Kita hitung adanya
potensi kerugian negara dari kontrak kedua mencapai Rp 20 sampai Rp 30
triliun," kata Ketua DPP PDIP Bidang Pemuda dan Olahraga itu.
Kontrak final antara Pelindo II
dan HPH sendiri ditandatangani pada tanggal 7 Juli 2015 yang telah
dinotariatkan (komposisi saham Pelindo II sebesar 48,9% , Kopegmar 0,10%, HPH
51%). "Jadi rekomendasi BPK terkait audit perpanjangan kontrak JICT sesungguhnya
sudah dijalankan oleh Pelindo II sejak awal," ujar RJ Lino dalam
keterangan pers, Rabu (16/12/2015).
Sejalan
dengan perubahan kepemilikan saham di JICT, Pelindo II sebagai pemegang saham
mayoritas di JICT juga menikmati banyak keuntungan dari perpanjangan kontrak
dengan HPH.
Misalnya,
Pelindo II telah menerima pembayaran yang muka sebesar US$215 juta dari
Hutchinson. Besaran uang sewa meningkat hingga US$85 juta sejak perjanjian
efektif ditandatangani pada 6 Juli 2015.
Sebelumnya,
pada Juni 2015, Pelindo II menagih pembayaran upfront fee ( uang muka ) dari
HPH sebesar USD 215 juta. Menurut surat HPH dan Pelindo II, nilai USD 15 juta
merupakan tambahan di luar perhitungan DB Deutsche Bank sebesar USD200 juta.
Tambahan tersebut merupakan arahan Meneg BUMN,.Pembayaran dilakukan pada 02
Juli 2015 dan dikenai pajak ganda, yakni 15 persen With Holding Tax di
Singapura, dan 10 persen PPN di Indonesia. Penandatanganan konsesi antara
Pelindo II dengan Kementrian Perhubungan baru terjadi tanggal 11 November 2015.
Lalu pada 06 Juli 2015 Pelindo II pun menerima pembayaran sewa. Padahal
Perjanjian Konsesi baru dilakukan pada 11 November 2015. Sebelumnya, Pelindo II
berpendapat, perjanjian konsesi itu tidak diperlukan.
Selain itu, perpanjangan kontrak
JICT antara Pelindo II dan HPH diakui oleh Meneg BUMN dalam pansus memang tidak
ada dalam RKAP Pelindo II dan tidak ada dalam RUPS. Ini berarti tidak sesuai
perintah dengan UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 22 dan Kepmen BUMN Nomor
KEP-101/MBU/2002 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan BUMN.
Bahkan Meneg BUMN Rini Soemarno dalam rapat pansus, dengan di bawah sumpah
mengatakan bahwa kegiatan bisnis yang dijalankan BUMN tidak harus selalu ada
dalam RKAP, apalagi menyangkut investasi asing.
Secara ekonomi, ditemukan hal yang
tidak layak. Menurut perjanjian kontrak 1999-2019, memang ada tehcnical
know how, tetapi di lapangan tidak ditemukan kenyataan adanya keterampilan atau
teknologi yang dialihkan. Yang terjadi adalah pengubahan pendapatan menjadi biaya
yang ditransfer ke perusahaan yang sama sekali tidak kompeten di bidang jasa
pengelolaan kepelabuhanan. Indikasi tindak pidana perpajakan ini dibiarkan
berlangsung karena lemahnya daya tawar Pemerintah Indonesia terhadap investor
asing. Saat yang sama perpanjangan kontrak sebelum jatuh tempo justru merugikan
Negara sebagaimana temuan BPK, kendati BPK hanya menyatakan sebagai pendapatan
yang belum optimal. Pansus mencatat bahwa laporan BPK per 1 Desember 2015 itu
masih berdasarkan PDTT yang diminta Pelindo II. Sedangkan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu sesuai dengan TOR yang diajukan Pansus yang belum masuk. Untuk
pelaksanaan kontrak 2015 hingga 2038, Pansus menemukan adanya potensi kerugian
negara yang relatif besar.
FRI dan
Bahana Sekuritas, dua lembaga penasihat keuangan yang sebelumnya dikontrak oleh
Pelindo II, dalam sebuah tim gabungan melakukan kembali analisa terkait valuasi
yang dilakukan Deutsche Bank (DB). Tim gabungan tersebut menggunakan dokumen
laporan keuangan JICT (1999-2013) dan proyeksi keuangan JICT yang diberikan DB
(2014-2038). Berdasarkan analisis ulang, ditemukan oleh tim tersebut hal
sebagai berikut:
Merujuk
Asumsi Historis:
Manfaat bagi Pelindo II
untuk sisa masa kontrak (2015-2018) adalah Rp2,99 triliun jika kontrak
diperpanjang , tetapi akan kehilangan potensi pendapatan 2019-2038
sebesar Rp24,7 triliun dikali dengan 49% (saham HPH) jadi Rp.11,85 triliun. (Asumsi
kurs sebesar Rp.13.600).
Merujuk Proyeksi DB:
Manfaat bagi
Pelindo II Rp36,5 triliun lebih besar jika mengoperasikan sendiri JICT
dibandingkan dengan memperpanjang kontrak dengan HPH. Akibat perpanjangan kontrak maka
potensi kehilangan penghasilan Pelindo II adalah Rp.36,5 triliun dikali 49%
adalah sebesar Rp17,9 triliun (Asumsi kurs sebesar Rp. 13.600).
Dampak Kasus
Secara ekonomi ditemukan hal yang tidak
layak, jika kontrak Pelindo II dan HPH diperpanjang berpotensi akan kehilangan
pendapatan dan merugikan Negara.
PEMBAHASAN DENGAN PSAK YANG TERKAIT
1. PSAK 23 (Pendapatan)
PSAK 23
mengatur tentang dasar pengakuan pendapatan yang timbul dari
a.
Penjualan
barang
b. Penjualan jasa
c. Penggunaan asset perusahaan oleh pihak-pihak
lain yang menghasilkan bunga, royalty, dan deviden.
Dari ketiga dasar pengakuan pendapatan tersebut dalam kasus ini termasuk
pendapatan dari hasil royalti. Dimana Pelindo II mandapatkan royalti dari HPH
sebesar 15% dalam pengelolaan JICT.
Berdasarkan
kasus dalam kontrak pertama Pelindo II atas royalty sebesar 15% dari pendapatan
sementara dimana jumlah sahamnya sebesar 48,9%.
Menurut PSAK 23
menyatakan bahwa royalti harus diakui atas dasar akrual sesuai dengan substansi
perjanjian yang relevan ( Paragraf 29a) apabila :
a) Besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan
dengan transaksi tersebut akan diperoleh perusahaan dan
b) Jumlah pendapatan dapat diukur dengan handal
Ilustrasi
Diasumsikan jika suatu perjanjian royalti menyatakan bahwa pemilik paten
harus dibayar sebesar 15% untuk setiap unit barang yang diproduksi oleh pembeli
paten, maka selama dan pada saat pembeli paten memproduksi barang itu, pemilik
paten harus mengakui pendapatan yang timbul (dengan asumsi dua syarat lainnya
terpenuhi). Namun, jika royalti itu dapat dibayar hanya pada penjualan akhir
barang tersebut, maka pemilik paten harus harus mengakui pendapatan hanya pada
saat penjualan barang oleh pembeli paten (dengan asumsi dua syarat lainnya
terpenuhi).
Ø Menurut Suwardjono (2014: 393)
Pada saat
kontrak, pendapatan tidak dapat diakui karena belum terjadi pembentukan
pendapatan. Dengan konsep homogenitas kos serta upaya dan hasil, pendapatan
dapat diakui atas dasar tingkat selesainya produksi bila perioda dipertahankan
sebagai takaran pengukuran laba.
2. PSAK 34 ( Kontrak Konstruksi )
Menjelaskan
tentang kontrak konstruksi jangka panjang, yaitu kontrak konstruksi yang
tanggal saat aktivitas kontrak mulai dilakukan dan saat aktivitas tersebut
dilaksanakan jatuh pada periode akuntansi yang berlainan. Oleh karena itu,
kontrak konstruksi membutuhkan waktu penyelesaian selama beberapa tahun,
persoalan dalam kontrak konstruksi adalah bagaimana pendapatan dan biaya yang
muncul dari kontrak tersebut harus diakui dan apakah pendapatan dan biaya harus
diakui hanya pada waktu penyelesaian ( metode penyelesaian kontrak ) atau pada
setiap periode akuntansi dilaksanakannya aktivitas konstruksi.
Jika kontrak konstruksi
tidak dapat diestimasi secara andal pendapatan kontrak harus diakui hanya
sebatas biaya kontrak yang timbul dan kemungkinan akan dipulihkan (paragraf 31).
Manfaat bagi Pelindo II untuk sisa
masa kontrak (2015-2018) adalah Rp2,99 triliun jika kontrak diperpanjang ,
tetapi akan kehilangan potensi pendapatan 2019-2038 sebesar Rp24,7
triliun dikali dengan 49% (saham HPH) jadi Rp.11,85 triliun. (Asumsi kurs
sebesar Rp.13.600).
Berhubungan dengan contoh Pelindo II
diasumsikan bahwa diakhir tahun 2018 setelah timbul jumlah biaya 12 triliun, diestimasi
membutuhkan biaya tambahan Rp 20 triliun (bukan Rp10 triliun) untuk
menyelesaikan kontrak.
Dalam contoh ini nilai kontrak sebesar Rp20,15
triliun dan jumlah biaya kontrak diperkirakan Rp15 triliun (Rp12 triliun + Rp20
triliun) , rugi Rp11,85 triliun diperkirakan timbul pada saat penyelesaian
kontrak.
Sesuai dengan persyaratan PSAK 34 keseluruhan kerugian
sebesar Rp11,85 triliun harus ditambahkan untuk tahun 2018, tanpa memandang
fakta bahwa diakhir tahun 2018 kontrak tersebut baru 60 % selesai (Rp 12 triliun/Rp32
triliun).
Ayat jurnal untuk mencatat laba/rugi
kontrak konstruksi diakhir tahun 2018 adalah sebagai berikut.
Dr. Biaya konstruksi Rp20 triliun
Cr. Pendapatan konstruksi Rp 8
triliun
Cr. Konstruksi dalam proses Rp 12
triliun
Dapat dilihat
bahwa karena PSAK 34 mensyaratkan keseluruhan kerugian agar disediakan meskipun
kontrak baru 60% selesai 40% lainnya dari rugi sebesar Rp4,740 triliun (40% x
11,85) harus disediakan. Dalam ayat jurnal diatas, kerugian tambahan
ditambahkan ke biaya konstruksi sehingga keseluruhan kerugian sebesar 11,85
diperhitungkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Suwardjono.”Teori Akuntansi
Perekayasaan Pelaporan Keuangan ”. Edisi Ketiga: BPFE-Yogyakarta, 2014.
Wahyuni Ersa Tri, dan Juan Ng Eng.”Panduan Praktis
Standar Akuntansi Keuangan berbasis IFRS”.Edisi kedua: Salemba Empat, 2012.