Sabtu, 09 Januari 2016

KASUS PENDAPATAN SEWA KONTRAK ATAS PENGELOLAAN JICT ANTARA PELINDO II DENGAN HPH

TUGAS TEORI AKUNTANSI
"PENDAPATAN"
"KASUS PENDAPATAN SEWA KONTRAK ATAS PENGELOLAAN JICT (Jakarta Internasional Container Terminal) ANTARA PELINDO II DENGAN HPH (Hutchinson Port Holding).

PENGANTAR
Pendapataan dapat didefenisi dari beberapa konsep. Dengan konsep aliran masuk pendapatan adalah kenaikan aset. Dari konsep aliran keluar, pendapatan adalah penyerahan produk yang diukur atas dasar penghargaan produk tersebut. Secara netral, pendapatan adalah produk perusahaan sebagai hasil dari upaya produktif. Pendapatan diukur dengan jumlah rupiah aset baru yang diterima dari pelanggan.
Dari defenisi diatas, dapat didaftar karakteristik-karakteristik atau kata-kata kunci dari membentuk pengertian pendapatan dan untung. Yang membentuk pengertian pendapatan adalah:
Aliran masuk atau kenaikan aset (inflows or other enhancements of assets,the amount of new assets received from costomers, flow of funds the customers, increases in economic benefits, gross increases in assets).
           1.   Kegiatan yang merepresentasi operasi utama atau sentral yang menerus (activities that constitute the entity’s ongoing major or central operations, in the course of the ordinary activities, producing goods,deliverings good, rendering servise, profit-directed activities).
           2.   Pelunasan, penurunan, atau pengurangan kewajiban ( settelments of liabilities, decreases in liabilities,gross decreases in liabilities).
           3.   Suatu entitas ( of an entity, of an enterprise).
           4.   Produk perusahaan ( goods an service, produck of the enterprise)
           5.   Pertukaran produk ( exchange of the product).
           6.   Menyandang beberapa nama atau mengambil beberapa bentuk (sales, fees, interest, dividends, royalties, and rents).
           7.   Mengakibatkan kenaikan ekuitas ( result in increases in equity, change owners equity).
Karakteristi (3) dan (8) sebenarnya merupakan penjabaran atau konsekuensi dari ketiga karakteristik sebelumnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa karakteristik (1) dan (2) merupakan karakteristik utama, sedangkan lainnya merupakan karakteristik konsenkuensi, pendukung atau penjelas. Untuk dapat mengatakan ada atau timbul, harus terjadi transaksi atau kejadian yang menaikan aset atau menimbulkan aliran masuk aset. Tidak semua kenaikan aset dapat menimbulkan pendapatan. Menuryu Paton dan Littelton (1970, Hal 47) bahwa aset dapat bertambah karena berbagai transaksi, kejadian, atau keadaan sebagai berikut:
       1.       Transaksi pendanaan yang berasal dari kreditor dan invesrtor.
       2.       Laba yang berasal dari kegiatan investasi, misalnya penjualan aset tetap, surat berharga, segmen bisnis, dan anak perusahaaan.
       3.       Hadiah, donasi, atau temuan.
       4.       Revaluasi aset yang telah ada.
       5.       Penyedian dan atau penyerhan produk barang dan jasa.
Hanya kegiatan (5) diatas yang masuk dalam kategori sumber pendapatan. FASB dan APB tidak memasukkan kegiatan (2) sebagai sumber pendapatan karena merupakan jumlah neto dan bukan merupakan kegiatan opersai sehingga mereka memasukkannya sebagai elemen untung (gains). Tidak semua kenaikan aset diatas membentuk pendapatan. Kegiatan utama atau sentral yang menerus atau berlanjur merupakan karakteristik yang membatasi kenaikan yan dapat disebut pendapatan. Kenaikan aset harus berasal dari kegiatan operasi dan bukan kegiatan investasi dan pendanaan. Kegiatan operasi ini diwujudkan dalam bentuk memproduksi dan mengirim berbagai brang kepada pelanggan atau menyerahkan atau melaksanakan berbagai jasa.
Pengertian operasi utama menunjukan kegiatan sebagaimana pengertian operasi dalam klasifikasi kegiatan yang membentuk statement aliran kas yaitu operasi (operating), investasi (investing), dan pendanaan (financing). Dengan demikian yang disebut pendapatan adalah kenaikan aset yang beroperasi uatama ini dan bukan dengan investasi dan pendanaan. Akan tetapi pendapatan atau untung yang tidak berasal dari operasi utama dengan sendirinya lalu dapat disebut sebagai pos nonoperasi. Produk yang dihasilkan secara tidak rutin atau insidental sering dianggap sebagai pos pendapatan “nonoperasi” dan dipisahkan penyajiannya. Pembedaan memang perlu tetapi mengklasifikasinya sebagai nonoperasi dapat menyesatkan daalam pengukuran kinerja atau daya melaba perusahaaan. Pendapatan tidak hanya didefenisi dari sudut kenaikan aset tetapi juga penurunan atau pelunasan kewajiban. Hal ini terjadi bila suatu entitas telah mengalami kenaikan aset sebelumnya, misalnya menerima pembayaran dimuka dari pelanggan. Penerimaan ini bukaan merupakan pendapatan karena perusahaan belum melakukan prestasi yang menimbulkan hak penuh atas aset yang diterima.
Pengakuan adalah pencatatan nilai rupiah secara resmi kedalam sistem akuntansi, sehingga jumlah tersebut terefleksi dalam statement keuangan. Pendapatan sebagai produk perusahaan tidak mengsyaratkan beberapa jumlahnya dan kapan harus dicatat, tetapi lebih mengsyaratkan bahwa pendapataan memang ada atau terwujud (to exist). Pengakuan pendapatan tidak boleh menyimpang dari landasan konseptual. Secara konseptual pendapatan hanya diakui kalau memenuhi kualitas kertukuran (measuralibility) dan keterandalan (reability).
Pembentukan pendapatan adalah suatu konsep yang berkaitan dengan masalah kapan dan bagaimana sesungguhnya pendapatan itu timbul atau menjadi ada. Apakah pendapatan itu timbul karena kegiatan produktif atau karena kejadian tertentu (misalnya penjualan). Sebelum penjualan terjadi, pendapatan dianggap sudah terbentuk seiring dengan berjalannya operasi perusahaan. Operasi perusahaan meliputi kegiatan produksi, penjualan, dan pengumpulan piutang.
Pendapatan diakui harus terialisasi dan terbentuk. Pendapatan terbentuk dengan terjadinya seluruh kegiatan perusahaan. Pendapatan terealisasi dengan adanya perubahan bentuk produk menjadi aset lain melalui transaksi pertukaran. Saat penjualan merupakan saat yang paling utama dan menjadi standar dalam pengakuan pendapatan karena pada saat itu pendapatan telah terbentuk dan terealisasi. Keberatan terhadap dasar penjualan dapat diatasi secara mudah dengan pencandangan kos purna-jual, potongan tunai, kembalian, dan kerugian piutang.
Pengakuan pada saat kontrak, atas dasar kemajuan produksi, pada saat produksi selesai, dan pada saat kas terkumpul merupakan penyimpangan dari pengakuan standar atas dasar penjualan. Pada saat kontrak, pendapatan tidak dapat diakui karena belum terjadi pembentukan pendapatan. Dengan konsep homogenitas kos serta upaya dan hasil, pendapatan dapat diakui atas dasar tingkat selesainya produksi bila perioda dipertahankan sebagai takaran pengukuran laba. Pengakuan semacam ini mungkin tidak perlu dilakukan bilamana takaran pengukuran laba adalah order atau kontrak pekerjaan. Pendapatan dapat diakui pada saat produk selesai bilamana syarat cukup pasti terealisasi dipenuhi.
  

Tentang Pelindo II
PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau disingkat Pelindo II adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang Jasa Kepelabuhanan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya adalah perairan dan terletak pada lokasi yang strategis karena berada di persilangan rute perdagangan dunia. Sehingga peran pelabuhan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi maupun mobilitas sosial dan perdagangan di wilayah ini sangat besar. Oleh karenanya pelabuhan menjadi faktor penting bagi pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian negara.

KASUS
Pendapatan sewa kontrak atas pengelolaan JICT( Jakarta Internasional Container Terminal)  antara pelindo ii dengan HPH (Hutchinson Port Holding). Dalam kontrak pertama, pelindo II berhak atas royalti sebesar 15% dari pendapatan. Sementara, HPH berhak atas technical knowhow sebesar 14,08% dikalikan laba setelah dikurangi pajak (laba bersih).
"Saat kontrak pertama, komposisi sahamnya, Pelindo II 48,9 persen, HPH 51 persen dan kopegmar (koperasi pegawai maritim) 0,1 persen," terang Sukur. Alih-alih menunggu masa kontrak habis, Dirut Pelindo II RJ Lino justru meneken perpanjangan kontrak HPH pada 2014. Padahal, kontraknya baru rampung pada 2019. Dalam kesepakatan baru yang dibuat Lino itu, Pansus mencurigakan beberapa hal. Pertama, kontrak kedua meniadakan sistem royalti menjadi sewa (rent) untuk Pelindo II senilai US$ 85 juta per tahun.
Kedua, jatah HPH atas technical knowhow 14,08% dari laba bersih dihapus. Ketiga, komposisi andil di JICT bergeser. Di mana Pelindo II berhak atas 51% saham dan HPH 49%.
"Selama ini, RJ Lino bilang sudah berhasil memberikan keuntungan kepada Pelindo II. Kita melihat justru sebaliknya. Malah  potensi kerugian lebih besar. Kita hitung adanya potensi kerugian negara dari kontrak kedua mencapai Rp 20 sampai Rp 30 triliun,"  kata Ketua DPP PDIP Bidang Pemuda dan Olahraga itu.
Kontrak final antara Pelindo II dan HPH sendiri ditandatangani pada tanggal 7 Juli 2015 yang telah dinotariatkan (komposisi saham Pelindo II sebesar 48,9% , Kopegmar 0,10%, HPH 51%). "Jadi rekomendasi BPK terkait audit perpanjangan kontrak JICT sesungguhnya sudah dijalankan oleh Pelindo II sejak awal," ujar RJ Lino dalam keterangan pers, Rabu (16/12/2015).
Sejalan dengan perubahan kepemilikan saham di JICT, Pelindo II sebagai pemegang saham mayoritas di JICT juga menikmati banyak keuntungan dari perpanjangan kontrak dengan HPH.
Misalnya, Pelindo II telah menerima pembayaran yang muka sebesar US$215 juta dari Hutchinson. Besaran uang sewa meningkat hingga US$85 juta sejak perjanjian efektif ditandatangani pada 6 Juli 2015.
Sebelumnya, pada Juni 2015, Pelindo II menagih pembayaran upfront fee ( uang muka ) dari HPH sebesar USD 215 juta. Menurut surat HPH dan Pelindo II, nilai USD 15 juta merupakan tambahan di luar perhitungan DB Deutsche Bank sebesar USD200 juta. Tambahan tersebut merupakan arahan Meneg BUMN,.Pembayaran dilakukan pada 02 Juli 2015 dan dikenai pajak ganda, yakni 15 persen With Holding Tax di Singapura, dan 10 persen PPN di Indonesia. Penandatanganan konsesi antara Pelindo II dengan Kementrian Perhubungan baru terjadi tanggal 11 November 2015. Lalu pada 06 Juli 2015 Pelindo II pun menerima pembayaran sewa. Padahal Perjanjian Konsesi baru dilakukan pada 11 November 2015. Sebelumnya, Pelindo II berpendapat, perjanjian konsesi itu tidak diperlukan.
Selain itu, perpanjangan kontrak JICT antara Pelindo II dan HPH diakui oleh Meneg BUMN dalam pansus memang tidak ada dalam RKAP Pelindo II dan tidak ada dalam RUPS. Ini berarti tidak sesuai perintah dengan UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 22 dan Kepmen BUMN Nomor KEP-101/MBU/2002 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan BUMN. Bahkan Meneg BUMN Rini Soemarno dalam rapat pansus, dengan di bawah sumpah mengatakan bahwa kegiatan bisnis yang dijalankan BUMN tidak harus selalu ada dalam RKAP, apalagi menyangkut investasi asing.
Secara ekonomi, ditemukan hal yang tidak layak. Menurut perjanjian kontrak 1999-2019, memang ada tehcnical know how, tetapi di lapangan tidak ditemukan kenyataan adanya keterampilan atau teknologi yang dialihkan. Yang terjadi adalah pengubahan pendapatan menjadi biaya yang ditransfer ke perusahaan yang sama sekali tidak kompeten di bidang jasa pengelolaan kepelabuhanan. Indikasi tindak pidana perpajakan ini dibiarkan berlangsung karena lemahnya daya tawar Pemerintah Indonesia terhadap investor asing. Saat yang sama perpanjangan kontrak sebelum jatuh tempo justru merugikan Negara sebagaimana temuan BPK, kendati BPK hanya menyatakan sebagai pendapatan yang belum optimal. Pansus mencatat bahwa laporan BPK per 1 Desember 2015 itu masih berdasarkan PDTT yang diminta Pelindo II. Sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu sesuai dengan TOR yang diajukan Pansus yang belum masuk. Untuk pelaksanaan kontrak 2015 hingga 2038, Pansus menemukan adanya potensi kerugian negara yang relatif besar.
FRI dan Bahana Sekuritas, dua lembaga penasihat keuangan yang sebelumnya dikontrak oleh Pelindo II, dalam sebuah tim gabungan melakukan kembali analisa terkait valuasi yang dilakukan Deutsche Bank (DB). Tim gabungan tersebut menggunakan dokumen laporan keuangan JICT (1999-2013) dan proyeksi keuangan JICT yang diberikan DB (2014-2038). Berdasarkan analisis ulang, ditemukan oleh tim tersebut hal sebagai berikut:
Merujuk Asumsi Historis:
Manfaat bagi Pelindo II untuk sisa masa kontrak (2015-2018) adalah Rp2,99 triliun jika kontrak diperpanjang , tetapi  akan kehilangan potensi pendapatan 2019-2038 sebesar Rp24,7 triliun dikali dengan 49% (saham HPH) jadi Rp.11,85 triliun. (Asumsi kurs sebesar Rp.13.600).
Merujuk Proyeksi DB:
Manfaat bagi Pelindo II Rp36,5 triliun lebih besar jika mengoperasikan sendiri JICT dibandingkan dengan memperpanjang kontrak dengan HPH. Akibat perpanjangan kontrak maka potensi kehilangan penghasilan Pelindo II adalah Rp.36,5 triliun dikali 49% adalah sebesar Rp17,9 triliun (Asumsi kurs sebesar Rp. 13.600).

Dampak Kasus
Secara ekonomi ditemukan hal yang tidak layak, jika kontrak Pelindo II dan HPH diperpanjang berpotensi akan kehilangan pendapatan dan merugikan Negara.   

PEMBAHASAN DENGAN PSAK YANG TERKAIT
1.    PSAK 23 (Pendapatan)
PSAK 23 mengatur tentang dasar pengakuan pendapatan yang timbul dari
a.       Penjualan barang
b.      Penjualan jasa
c.       Penggunaan asset perusahaan oleh pihak-pihak lain yang menghasilkan bunga, royalty, dan deviden.
Dari ketiga dasar pengakuan pendapatan tersebut dalam kasus ini termasuk pendapatan dari hasil royalti. Dimana Pelindo II mandapatkan royalti dari HPH sebesar 15% dalam pengelolaan JICT.
Berdasarkan kasus dalam kontrak pertama Pelindo II atas royalty sebesar 15% dari pendapatan sementara dimana jumlah sahamnya sebesar 48,9%.
Menurut PSAK 23 menyatakan bahwa royalti harus diakui atas dasar akrual sesuai dengan substansi perjanjian yang relevan ( Paragraf 29a) apabila :
a)      Besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan diperoleh perusahaan dan
b)      Jumlah pendapatan dapat diukur dengan handal

Ilustrasi
Diasumsikan jika suatu perjanjian royalti menyatakan bahwa pemilik paten harus dibayar sebesar 15% untuk setiap unit barang yang diproduksi oleh pembeli paten, maka selama dan pada saat pembeli paten memproduksi barang itu, pemilik paten harus mengakui pendapatan yang timbul (dengan asumsi dua syarat lainnya terpenuhi). Namun, jika royalti itu dapat dibayar hanya pada penjualan akhir barang tersebut, maka pemilik paten harus harus mengakui pendapatan hanya pada saat penjualan barang oleh pembeli paten (dengan asumsi dua syarat lainnya terpenuhi).


Ø  Menurut Suwardjono (2014: 393)
Pada saat kontrak, pendapatan tidak dapat diakui karena belum terjadi pembentukan pendapatan. Dengan konsep homogenitas kos serta upaya dan hasil, pendapatan dapat diakui atas dasar tingkat selesainya produksi bila perioda dipertahankan sebagai takaran pengukuran laba.
2.    PSAK 34 ( Kontrak Konstruksi )
Menjelaskan tentang kontrak konstruksi jangka panjang, yaitu kontrak konstruksi yang tanggal saat aktivitas kontrak mulai dilakukan dan saat aktivitas tersebut dilaksanakan jatuh pada periode akuntansi yang berlainan. Oleh karena itu, kontrak konstruksi membutuhkan waktu penyelesaian selama beberapa tahun, persoalan dalam kontrak konstruksi adalah bagaimana pendapatan dan biaya yang muncul dari kontrak tersebut harus diakui dan apakah pendapatan dan biaya harus diakui hanya pada waktu penyelesaian ( metode penyelesaian kontrak ) atau pada setiap periode akuntansi dilaksanakannya aktivitas konstruksi.
Jika kontrak konstruksi tidak dapat diestimasi secara andal pendapatan kontrak harus diakui hanya sebatas biaya kontrak yang timbul dan kemungkinan akan dipulihkan (paragraf 31).
Manfaat bagi Pelindo II untuk sisa masa kontrak (2015-2018) adalah Rp2,99 triliun jika kontrak diperpanjang , tetapi  akan kehilangan potensi pendapatan 2019-2038 sebesar Rp24,7 triliun dikali dengan 49% (saham HPH) jadi Rp.11,85 triliun. (Asumsi kurs sebesar Rp.13.600).
Berhubungan dengan contoh Pelindo II diasumsikan bahwa diakhir tahun 2018 setelah timbul jumlah biaya 12 triliun, diestimasi membutuhkan biaya tambahan Rp 20 triliun (bukan Rp10 triliun) untuk menyelesaikan kontrak.

 Dalam contoh ini nilai kontrak sebesar Rp20,15 triliun dan jumlah biaya kontrak diperkirakan Rp15 triliun (Rp12 triliun + Rp20 triliun) , rugi Rp11,85 triliun diperkirakan timbul pada saat penyelesaian kontrak.
Sesuai dengan persyaratan PSAK 34 keseluruhan kerugian sebesar Rp11,85 triliun harus ditambahkan untuk tahun 2018, tanpa memandang fakta bahwa diakhir tahun 2018 kontrak tersebut baru 60 % selesai (Rp 12 triliun/Rp32 triliun).
Ayat jurnal untuk mencatat laba/rugi kontrak konstruksi diakhir tahun 2018 adalah sebagai berikut.
Dr. Biaya konstruksi                           Rp20 triliun
Cr. Pendapatan konstruksi                                          Rp 8 triliun
Cr. Konstruksi dalam proses                                       Rp 12 triliun
Dapat dilihat bahwa karena PSAK 34 mensyaratkan keseluruhan kerugian agar disediakan meskipun kontrak baru 60% selesai 40% lainnya dari rugi sebesar Rp4,740 triliun (40% x 11,85) harus disediakan. Dalam ayat jurnal diatas, kerugian tambahan ditambahkan ke biaya konstruksi sehingga keseluruhan kerugian sebesar 11,85 diperhitungkan.


DAFTAR PUSTAKA
Suwardjono.”Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan ”. Edisi Ketiga: BPFE-Yogyakarta, 2014.


Wahyuni Ersa Tri, dan Juan Ng Eng.”Panduan Praktis Standar Akuntansi Keuangan berbasis IFRS”.Edisi kedua: Salemba Empat, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar