Selasa, 15 Desember 2015

MAKALAH PERTANGGUNGJAWABAN PUBLIK

MAKALAH PERTANGGUNGJAWABAN PUBLIK

PEMBAHASAN

            A. Pertanggungjawaban Publik

Konsep pertanggungjawaban dapat dijelasakan dari adanya wewenang. Wewenang di sini berarti kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada tiga macam tipe ideal wewenang, pertama wewenang tradisional kedua wewenang karismatik dan ketiga wewenang legal rational. Yang ketigalah ini yang menjadi basis wewenang pemerintah. Dalam perkembanganya, muncul konsep baru tentang wewenang yang dikembangkan oleh Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip bahwa penggunaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan.Darwin sebagaimana dikutip Joko Widodo, membedakan konsep pertanggungjawaban menjadi tiga .
  1. Pertama , akuntabilitas (accountability),
  2. Kedua, responsibilitas (responsibility) dan 
  3. Ketiga responsivitas (responsiveness).
Responsibilitas (responsibility) merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya. Administrasi negara dinilai responsibel apabila pelakunya memiliki standard profesionalisme atau kompetensi teknis yang tinggi. Sedangkan konsep responsivitas (responsiveness) merupakan pertanggungjawaban dari sisi yang menerima pelayanan (masyarakat). Seberapa jauh mereka melihat administrasi negara (birokrasi publik) bersikap tanggap (responsive) yang lebih tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan dan aspirasi mereka.
Pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability) merupakan suatu istilah yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan dan tidak digunakan secara ilegal. Dalam perkembanganya akuntabilitas digunakan juga bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi ekonomi program. Usaha – usaha tadi berusaha untuk mencari dan menemukan apakah ada penyimpangan staf atau tidak, tidak efisien apa tidak prosedur yang tidak diperlukan. 

B.     Ruang Lingkup Akuntabilitas
Akuntabilitas berasal dari bahasa Latin:accomptare (mempertanggungjawabkan) bentuk kata dasar computare (memperhitungkan) yang juga berasal dari kata putare (mengadakan perhitungan). Sedangkan kata itu sendiri tidak pernah digunakan dalam bahasa Inggris secara sempit tetapi dikaitkan dengan berbagai istilah dan ungkapan seperti keterbukaan (openness), transparansi (transparency), aksesibilitas (accessibility), dan Berhubungan kembali dengan publik (reconnecting with the public) dengan penggunaannya mulai abad ke-13 Norman Inggris,konsep memberikan pertanggungjawaban memiliki sejarah panjang dalam pencatatan kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan dan sistem pertanggungjawaban uang yang pertama kali dikembangkan di Babylon, Mesir,Yunani, Roma, dan Israel.
Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatif Kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat dipertanggungjawabkan (responsibility),yang dapat dipertanyakan (answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait dengan tingkat problembilitas di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-perusahaan.
Dalam pengertian yang sempit akuntabilitas dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu pada kepada siapa organisasi (atau pekerja individu) bertanggungjawab dan untuk apa organisasi (pekerja individu) bertanggung jawab?. Dalam pengertian luas, akuntabilitas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
Ruang lingkup akuntabilitas tidak hanya pada bidang keuangan saja, tetapi meliputi: Fiscal Accountability, Legal accountability, Program accountability, Process accountability, Outcome accountability

Dalam konteks organisasi pemerintah, sering ada istilah akuntabilitas publik yang  berarti pemberian informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik.
Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme supervisi, pelaporan, dan pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi dalam sebuah rantai komando formal. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah, para manajer publik diharapkan bisa melakukan transformasi dari sebuah peran ketaatan pasif menjadi seorang yang berpartisipasi aktif dalam penyusunan standar akuntabilitas yang sesuai dengan keinginan dan harapan publik. Oleh karena itu, makna akuntabilitas menjadi lebih luas dari sekedar sekedar proses formal dan saluran untuk pelaporan kepada otoritas yang lebih tinggi.  Konsepsi akuntabilitas dalam arti luas ini menyadarkan kita bahwa pejabat pemerintah tidak hanya bertanggungjawab kepada otoritas yang lebih tinggi dalam rantai komando institusional, tetapi juga bertanggungjawab kepada masyarakat umum, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan banyak stakeholders lain. Jadi, penerapan akuntabilitas ini, di samping  berhubungan dengan penggunaan kebijakan administratif yang sehat dan legal, juga harus bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bentuk akuntabilitas formal yang ditetapkan.
Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu (1) akuntabilitas vertikal dan (2) akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, pertanggungjawaban daerah kepada pemerintah pusat, dan pemerintah pusat kepada MPR. Pertanggungjawaban horizontal adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat luas.
Prinsip akuntabilitas digunakan untuk menciptakan sistem kontrol yang efektif berdasarkan distribusi kekuasaan pemegang saham, direksi dan komisaris.  Prinsip-prinsip akuntabilitas adalah:
  1. Mengontrak performan artinya performan para petugas pendidikan dikontrak oleh orang-orang yang berkepentingan dalam pendidikan. Kriteria performan yang sudah disepakati bersama harus dapat dilaksanakan dengan baik.
  2. Memiliki kunci pembentuk arah. Dengan biaya tertentu dan performan dengan kriteria yang sudah dikontrakan itu diharapkan pendidikan dapat mencapai tujuan secara tepat.
  3. Ada unsur pemeriksaan. Pemerikasaan harus dilakukan oleh orang-orang yang bebas yang tidak terlibat dalam kegiatan pendidikan.Para pengontrak adalah merupakan unsur pengontrol dalam kegiatan pendidikan.
  4. Ada jaminan pendidikan.Mutu pendidikan terjamin karena sudah memakai kriteria/ukuran tertentu.
  5. Pemberian insisiatif sebagai imbalan terhadap jerih payah guru dibuatlah insentif.
Aspek yang terkandung dalam pengertian akuntabilitas adalah bahwa publik mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak yang mereka beri kepercayaan. Media pertanggungjawaban dalam konsep akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban saja, tetapi mencakup juga praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan. 

C.    Bentuk Akuntabilitas
Akuntabilitas dibedakan menjadi beberapa tipe, diantaranya menurut Rosjidi jenis akuntabilitas dikategorikan menjadi dua tipe yaitu :
1.      Akuntabilitas Internal.
Berlaku bagi setiap tingkatan organisasi internal penyelenggara pemerintah negara termasuk pemerintah dimana setiap pejabat atau pengurus publik baik individu maupun kelompok secara hierarki berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada atasannya langsung mengenai perkembangan kinerja kegiatannya secara periodik maupun sewaktu-waktu bila dipandang perlu. Keharusan dari akuntabilitas internal pemerintah tersebut telah diamanatkan dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Instansi Pemerintah (AKIP).
2. Akuntabilitas Eksternal.
Melekat pada setiap lembaga negara sebagai suatu organisasi untuk mempertanggungjawabkan semua amanat yang telah diterima dan dilaksanakan ataupun perkembangannya untuk dikomunikasikan kepada pihak eksternal lingkungannya.
Ellwood menjelaskan bahwa terdapat empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik (badan hukum), yaitu :
a.       Akuntabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum.
b.      Akuntabilitas Proses.
c.       Akuntabilitas Program.
d.      Akuntabilitas Kebijakan.
Dalam sektor publik, dikenal beberapa bentuk dari akuntabilitas, yaitu :
a)      Akuntabitas ke atas (upward accountability), menunjukkan adanya kewajiban untuk melaporkan dari pimpinan puncak dalam bagian tertentu kepada pimpinan eksekutif, seperti seorang dirjen kepada menteri.
b)      Akuntabilitas keluar (outward accountability), bahwa tugas pimpinan untuk melaporkan, mengkonsultasikan dan menanggapi kelompok-kelompok klien dan stakeholders dalam masyarakat.
c)      Akuntabilitas ke bawah (downward accountability), menunjukkan bahwa setiap pimpinan dalam berbagai tingkatan harus selalu mengkomunikasikan dan mensosialisasikan berbagai kebijakan kepada bawahannya karena sebagus apapun suatu kebijakan hanya akan berhasil manakala dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh pegawai.
Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang seperti dikutip Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) membedakan akuntabilitas dalam tiga macam akuntabilitas, yaitu :
1.      Akuntabilitas Keuangan
Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggungjawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sasarannya adalah laporan keuangan yang mencakup penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran keuangan instansi pemerintah. Komponen pembentuk akuntabilitas keuangan terdiri atas :
a.       Integritas Keuangan.
b.      Pengungkapan.
c.       Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-undangan.
2.      Akuntabilitas Manfaat
Akuntabilitas manfaat pada dasarnya memberi perhatian pada hasil-hasil dari kegiatan pemerintahan. Hasil kegiatannya terfokus pada efektivitas, tidak sekedar kepatuhan terhadap prosedur. Bukan hanya output, tapi sampai outcome. Outcome adalah dampak suatu program atau kegiatan terhadap masyarakat. Outcome lebih tinggi nilainya daripada output, karena output hanya mengukur dari hasil tanpa mengukur dampaknya terhadap masyarakat, sedangkan outcome mengukur output dan dampak yang dihasilkan.
3.      Akuntabilitas Prosedural
Akuntabilitas yang memfokuskan kepada informasi mengenai tingkat kesejahteraan sosial. Diperlukan etika dan moral yang tinggi serta dampak positif pada kondisi sosial masyarakat. Akuntabilitas prosedural yaitu merupakan pertanggungjawaban mengenai aspek suatu penetapan dan pelaksanaan suatu kebijakan yang mempertimbangkan masalah moral, etika, kepastian hukum dan ketaatan pada keputusan politik untuk mendukung pencapaian tujuan akhir yang telah ditetapkan.
D.    Jenis-Jenis Akuntabilitas
1.      Akuntabilitas Politik
Akuntabilitas politik adalah akuntabilitas administrasi publik dari lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatif Kehakiman kepada publik .Dalam negara demokrasi, pemilu adalah mekanisme utama untuk mendisiplinkan pejabat publik akan tetapi hal ini saja tidak cukup dengan adanya pemisahan kekuasaan antara badan eksekutif, legislatif dan yudikatif memang dapat membantu untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan yang hanya berkaitan pada check and balances pengaturan kewenangan.
2.      Akuntabilitas Finansial,
Fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan laporan, proses audit, serta kualitas audit. Perhatian khusus diberikan pada kinerja dan nilai uang serta penegakan sanksi untuk mengantisipasi dan mengatasi penyalahgunaan, mismanajemen, atau korupsi.
3.      Akuntabilitas administrative.
Merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan pelayan publik, khususnya para direktur, kepala departemen, dinas, atau instansi, serta para manajer perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.
Secara umum, spektrum yang begitu luas telah menyebabkan digunakannya konsep akuntabilitas secara fleksibel. Yang paling mudah adalah mengidentikkan akuntabilitas pelayan publik dengan bentuk pertanggung jawaban mereka kepada atasannya, baik secara politik maupun administratif.
Di tempat lain, Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu.Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama akuntabilitas, yaitu:
a)      Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah keputusan dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku para birokrat dengan menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan adanya otorisasi sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini secara tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing).
b)      Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan sebagai kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan dengan hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen publik baru (new public management).
c)      Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau lembaga peradilan. Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara seperti media massa dan kelompok penekan.
E.     Beberapa Metode Untuk Menegakkkan Akuntabilitas
Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya. Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara hukum. Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada badan peradilan yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan ini biasanya memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya. Peran lembaga peradilan dalam menegakkan akuntabilitas berbeda secara signifikan antara negara, antara negara yang memiliki sistem peradilan administratif khusus seperti perancis, hingga negara yang yang memiliki tatanan hukum di mana semua persoalan hukum diselesaikan oleh badan peradilan yang sama, termasuk yang berkaitan dengan pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik. Dua faktor utama yang menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas institusi hukum dan tingkat akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya yang berhubungan dengan biaya pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa suatu sistem pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas legal.
Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu konstitusi maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat. Ombudsmen mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan menyusun rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa membebani masyarakat.
Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi. Terdapat beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke tingkat lokal yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab langsung kepada masyarakat lokal. Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah pusat. Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal.
Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan dan regulasi administratif dan finansial dan sistem inspeksi.
Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks, efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya, misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para pelakunya.
F.     Aspek-Aspek Akuntabilitas

1.      Akuntabitas adalah sebuah hubungan 

Akuntabilitas adalah komunikasi dua arah sebagaimana yang diterangkan oleh Auditor General Of British Columbia yaitu merupakan sebuah kontrak antara dua pihak
2.       Akuntabilitas Berorientasi Hasil 
Pada stuktur organisasi sektor swasta dan publik saat ini akuntabilitas tidak melihat kepada input ataupun autput melainkan kepada outcome.
3.      Akuntabilitas memerlukan pelaporan 
Pelaporan adalah tulang punggung dari akuntabilitas
4.      Akuntabilitas itu tidak ada artinya tanpa konsekuensi 
Kata kunci yang digunakan dalam mendiskusikan dan mendefinisikan akuntabilitas adalah tanggung jawab. Tanggung jawab itu mengindikasikan kewajiban dan kewajiban datang bersama konsekuensi.
5.      Akuntabilitas meningkatkan kinerja
Tujuan dari akuntabilitas adalah untuk meningkatkan kinerja, bukan untuk mencari kesalahan dan memberikan hukuman.

G.    Alat-alat Akuntabilitas

1. Rencana Strategis

Rencana strategis adalah suatu proses yang membantu organisasi untuk memikirkan tentang sasaran yang harus diterapkan untuk memenuhi misi mereka dan arah apa yang harus dikerjakan untuk mencapai sasaran tersebut. Hal tersebut adalah dasar dari semua perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kegiatan suatu organisasi. Manfaat dari Rencana Stratejik antara lain membantu kesepakatan sekitar tujuan, sasaran dan prioritas suatu organisasi; menyediakan dasar alokasi sumber daya dan perencanaan operasional; menentukan ukuran untuk mengawasi hasil; dan membantu untuk mengevaluasi kinerja organisasi.

2. Rencana Kinerja

Rencana kinerja menekankan komitmen organisasi untuk mencapai hasil tertentu sesuai dengan tujuan, sasaran, dan strategi dari rencana strategis organisasi untuk permintaan sumber daya yang dianggarkan.

3. Kesepakatan Kinerja

Kesepakatan kinerja didesain, dalam hubungannya antara dengan yang melaksanakan pekerjaan untuk menyediakan sebuah proses untuk mengukur kinerja dan bersamaan dengan itu membangun akuntabilitas.

4. Laporan Akuntabilitas

Dipublikasikan tahunan, laporan akuntabilitas termasuk program dan informasi keuangan, seperti laporan keuangan yang telah diaudit dan indikator kinerja yang merefleksikan kinerja dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan utama organisasi.

5. Penilaian Sendiri

Adalah proses berjalan dimana organisasi memonitor kinerjanya dan mengevaluasi kemampuannya mencapai tujuan kinerja, ukuran capaian kinerjanya dan tahapan-tahapan, serta mengendalikan dan meningkatkan proses itu.

7. Penilaian Kinerja

Adalah proses berjalan untuk merencanakan dan memonitor kinerja. Penilaian ini membandingkan kinerja aktual selama periode review tertentu dengan kinerja yang direncanakan. Dari hasil perbandingan tersebut, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, perubahan atas kinerja yang diterapkan dan arah masa depan bisa direncanakan.

8. Kendali Manajemen 

Akuntabilitas manajemen adalah harapan bahwa para manajer akan bertanggungjawab atas kualitas dan ketepatan waktu kinerja, meningkatkan produktivitas, mengendalikan biaya dan menekan berbagai aspek negatif kegiatan, dan menjamin bahwa program diatur dengan integritas dan sesuai peraturan yang berlaku.

G. Manfaat Akuntabilitas
Pertama, Akuntabilitas kinerja paling tidak memberi manfaat (pertama) masyarakat ingin mengetahui seberapa besar efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan setiap kegiatan publik oleh pemerintah, yang notabene dibiayai oleh uang rakyat. Inilah salah satu tolok ukur utama dari akuntabilitas dan transparansi.
Kedua, pemerintah dapat sekaligus mengintrospeksi diri terhadap kemampuan dari setiap program yang dijalankan apakah mengarah pada tujuan pada periode akhir perencanaan.Sayangnya konsep akuntabilitas publik masih dijalankan setengah hati untuk menjadi budaya kerja di Indonesia. Banyak pihak mengartikan akuntabilitas publik hanya terbatas pada pelaporan pertanggungjawaban keuangan saja, hanya mencakup pertanggungjawaban anggaran semata. Akibatnya, suatu penyelenggaraan pemerintahan yang telah melaporkan alokasi dana yang digunakan dianggap sudah selesai mempertanggungjawabkan kegiatannya secara memadai terlepas dari apakah kegiatan yang dilaksanakan memberi manfaat atau tidak, terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini pada gilirannya membuka peluang yang besar bagi praktik-praktik penyimpangan dana dan sumber daya lainnya. Yang lebih berbahaya munculnya penyimpangan gaya lama dengan pola dan modifikasi baru. Sesungguhnya akuntabilitas publik harus diikuti oleh pengukuran secara komprehensif terhadap keluaran, hasil, dan manfaat yang benar-benar dapat dirasakan dan dilihat masyarakat, serta pada gilirannya dengan memperhitungkan dampak.
Dengan cara ini kinerja suatu instansi pemerintah pada suatu tahun tertentu dapat dibandingkan kinerjanya dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika hal ini dapat dikonkritkan maka dapat menjadi salah satu pola alternatif bagi pola pertanggungjawaban (LPJ) seorang kepala eksekutif. Akhirnya, yang perlu dipahami bahwa pemahaman dan kesadaran mengenai pentingnya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah membutuhkan komitmen dari seluruh pihak terkait, pemerintah, legislatif dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat maupun legislatif bukan diartikan sekadar menghadirkan dalam berbagai pertemuan, rapat kerja, dialog interaktif atau apa pun namanya, tetapi apa yang dapat mereka (masyarakat dan legislatif) berikan terhadap pemecahan suatu masalah dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Hal ini diharapkan dapat menciptakan suatu kondisi akuntabilitas menjadi sebuah kebutuhan bagi setiap penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dalam mempertanggungjawabkan amanah yang diterima.









Makalah Kasus Dana Pilkada

 “MAKALAH KASUS DANA PILKADA ”

OLEH:
KELOMPOK KORSA:

N RAMADHAN US                         10800112121
ISRAWATI                                       10800112103
HASMA                                             10800112110
ROMI NUGRAHA                           10800112124
PUTRI INDAH                                 10800112115
MUTMAINNAH                              10800112100
ROSMINI HAMZAH                      10800112111

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Uang adalah segalanya. Iitulah ungkapan yang mungkin pantas diucapkan melihat realitas yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada saat ini. Karena selain bersumber dari uang rakyat, pesta demokrasi tersebut juga ternyata menguras dana yang tidak sedikit dari setiap pasangan calon yang berkompetisi. Pada tahun 2010 ini, sesuai jadwal yang dipublikasikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), setidaknya terdapat 245 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, terdiri dari 7 Pemerintah Provinsi dan 238 Pemerintah Kabupaten/Kota. (Untuk Tahun 2015 mendatang, setidaknya akan ada 245 Pilkada terdiri dari 7 Pemerintah Propinsi, 203 Kabupaten dan 35 Kota di seluruh Indonesia) Dari jumlah tersebut, rasanya saat ini masih terlalu dini untuk dapat mengidentifikasi secara kumulatif berapa jumlah dana yang dikeluarkan dalam rangka perhelatan pesta demokrasi tersebut, karena bukan hanya dari sisi penggunaan uang rakyat yang dikelola oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) saja, tapi hal ini juga akan berkaitan dengan dana yang dikeluarkan dari kocek masing-masing pasangan calon. Terlepas dari perkiraan jumlah dana yang mungkin sangat fantastis itu, tulisan ini mencoba untuk menggambarkan dari mana saja dana tersebut berasal, untuk apa serta siapa saja yang menggunakan dan bertanggungjawab terhadap penggunaan dana dalam Pilkada tersebut, termasuk bagaimana dampak beredarnya dana tersebut bagi masyarakat.
Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran rakyat Indonesia yang dalam melaksanakan Pemilihan Umum dengan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan umum ini langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Walaupun masih terdapat masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan. Tetapi masih dapat dikatakan suses.
Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat menentukan peminpin daerahnya menurut hati nuraninya sendiri.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana asal usul pendanaan Pilkada?
2.      Berasal dari mana Dana KPUD?
3.      Berasal dari mana Dana pasangan calon?
4.      Bagaimana Pilkada menguras Anggaran Daerah?
5.      Apakah dengan adanya pendana pilkada dapat mengurangi kesejahteraan masyarakat?
6.      Bagaimana pengaruh Pemilu serentak terhadap dana pilkada?
7.      Apa kendala yang dihadapi dan bagaimana solusinya?
8.      Contoh kasus!
C.    Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan mengenai asal usul dana pilkada, dana KPUD, dana psangan calon, dan bagaimana pilkada tersebut menguras anggaran daerah yang mengakibatkan kurangnya kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya makalah ini juga menjelaskan pengaruh pemilu serentak terhadap dana pilkada serta beberapa kendala yang mungkin dihadapi kemudian memberikan solusi yang tepat, serta contoh kasus dari dana pilkada.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pendanaan Pilkada
Salah satu hal yang menarik mengenai tata cara penyelenggaraan Pilkada di dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 adalah sumber pendanaannya. Pasal 114 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa pendanaan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah wajib dianggarkan dalam APBD. Hal ini berbeda dengan Pemilu Preside, DPR, DPD, serta DPRD dimana biaya penyelenggaranya bersumber dari APBN (lihat pasal 114 ayat (2)).
Berdasarkan aturan pelaksanaanya, pengaturan tentang pendanaan penyelenggaraan pemilhan kepala daerah yang terdapat di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) tidak mengatur secara tegas mengenai prioritas pendanaan untuk pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan salah satu aturan pelaksana dari UU Nomor 22 Tahun 2007.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 3 Permendagri Nomor 44 Tahun 2007, pendanaan penyelenggaraan Pemilu kepala daerah diklasifikasikan ke dalam kelompok belanja tidak langsung dan masuk ke dalam jenis belanja hibah, obyek belanja hibah Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada KPU Kabupaten/Kota. Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.
Hambatannya adalah apabila pendanaan pemilihan umum kepala daerah dimasukkan ke dalam kelompok belanja hibah, berarti pemerintah daerah tidak mempunyai kewajiban/keharusan untuk menganggarkan pendanaan penyelenggaraan Pemilu kepala daerah di dalam APBD. Hal ini disebabkan karena Pasal 44 ayat (1) Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 menyatakan bahwa belanja hibah bersifat bantuan yang tidak mengikat/tidak secara terus-menerus dan tidak wajib, serta harus digunakan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan di dalam naskah perjanjian hibah daerah. Padahal ketentuan di dalam Pasal 114 Ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dengan tegas mengatur bahwa pendanaan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah wajib dianggarkan dalam APBD.
Dengan adanya ketentuan tersebut, pemerintah daerah dimungkinkan untuk memprioritaskan penggunaan anggarannya untuk keperluan pembangunannya ketimbang penganggaran untuk pelaksaan Pilkada. Seperti yang pernah terjadi di Daerah Kota Semarang ketika Pemilu Walikota Semarang tahun 2010. Akibatnya, ketika akan dimulai masa perisapan Pemilihan Umum Walikota Semarang Tahun 2010 yang menurut jadwal dilakukan pada bulan Agustus 2009, KPU Kota Semarang belum dapat mencairkan dana yang berasal dari APBD Kota Semarang karena tidak adanya pengalokasian dana tersebut di dalam APBD Kota Semarang Tahun 2009. Padahal dana yang dibutuhkan KPU Kota Semarang pada tahun 2009 sebesar Rp3.422.660.500 (tiga milyar empat ratus dua puluh dua juta enam ratus enam puluh ribu lima ratus rupiah) dari total kebutuhan dana sampai dengan Pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Semarang 2010 sebesar Rp21.131.110.000 (dua puluh satu miliyar seratus tiga puluh delapan juta seratus sepuluh ribu rupiah)
Lalu bagaimana kelanjutannya? Untuk mengatasi ketiadaan dana pada tahun 2009, KPU Kota Semarang melalui Sekretaris Jenderal-nya mengusulkan dana penyelenggaraan Pilkada kepada Pemerintah Kota Semarang agar dibahas bersama DPRD dan dialokasikan di dalam APBD Perubahan Tahun 2009. Akhirnya pada bulan Desember 2009 diterbitkanlah Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Perubahan Anggaran PEndapatan dan Belanja Daerah Kota Semarang Tahun 2009. Peraturan daerah tersebut yang kemudian menjadi dasar pencairan dana bagi KPU Kota Semarang.


B.     Dana KPUD
Sebagai penyelenggara PILKADA, KPUD sudah diperhadapkan pada permasalahan keuangan ketika memasuki tahapan persiapan penyelenggaraan PILKADA, karena sebagaimana diatur pada pasal 4 Peraturan KPU nomor 62 TAHUN 2009 (asumsi belum ada PKPU terbaru) maka salah satu yang harus dilakukan adalah penyusunan program dan anggaran yang penyusunannya mengikuti jadwal penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai dengan tahun anggaran dan kebutuhan tahapan penyelenggaraan PILKADA, sehingga dapat dikatakan bahwa dana yang digunakan oleh KPUD merupakan dana yang bersumber dari Pemerintah Daerah (uang rakyat). Penggunaan dana Pemerintah Daerah tersebut didasarkan pada Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 63 Tahun 2009 (asumsi belum ada PKPU terbaru), yang menyatakan bahwa seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas KPUD (Provinsi, Kabupaten/Kota), anggota PPK, PPS dan KPPS dalam penyelenggaraan PILKADA dibebankan pada anggaran APBD, termasuk biaya jasa audit Kantor Akuntan Publik (KAP). Point terpenting dalam kaitannya dengan dana KPUD ini adalah karena dananya bersumber dari uang rakyat maka masyarakat berhak untuk mengetahui segala penggunaannya. Untuk itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut, KPUD berkewajiban untuk menyampaikan laporan Pertanggungjawaban Anggaran Pilkada pada tahap penyelesaian nantinya.
C.    Dana Pasangan Calon
Selain Dana KPUD, sebagai calon pemilih, kiranya masyarakat perlu juga untuk mengetahui perihal dana pasangan calon. Dana pasangan calon mulai dapat tergambarkan pada pengajuan bakal pasangan calon karena sesuai dengan pasal 9 Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 (asumsi belum ada PKPU terbaru) maka setiap bakal pasangan calon harus menyerahkan daftar kekayaan pribadi yang selanjutnya akan diumumkan kepada masyarakat. Dari informasi daftar kekayaan pribadi inilah, tentunya masyarakat akan mendapatkan gambaran awal seberapa besar jumlah modal pasangan calon dalam mengikuti PILKADA. Selain menggunakan dana pribadi, sebagaimana diatur pada pasal 5 – 12 Peraturan KPU Nomor 06 Tahun 2010 (asumsi belum ada PKPU terbaru), pasangan calon diperbolehkan untuk menerima sumbangan dari pihak lain terutama dukungan dana dalam pelaksanaan kampanye yang hanya dapat bersumber dari partai politik/gabungan partai politik pendukung, perseorangan yang secara kumulatif tidak melebihi 50 Juta Rupiah dan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/ atau badan hukum swasta yang juga secara kumulatif nilainya tidak melebihi 350 Juta Rupiah. Keterkaitannya dengan sumbangan dana kampanye tersebut, pasangan calon tidak diperkenankan untuk menerima dana dari negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing; penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya; serta pemerintah, BUMN dan BUMD. Namun, jika seandainya Pasangan Calon dan/atau tim kampanye menerima sumbangan dari pihak-pihak tersebut maka sebagaimana ketentuan ini, pasangan calon tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut, wajib melaporkannya ke KPUD serta menyerahkan sumbangan tersebut kepada Kas Daerah paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye berakhir, dan apabila pasangan calon tidak melaksanakannya maka keikutsertaannya sebagai peserta PILKADA dapat dibatalkan oleh KPUD. Dalam hal penggunaan dana kampanye, sebagaimana tertuang dalam lampiran peraturan KPU Nomor 06 Tahun 2010 meliputi aktivitas operasional dan aktivitas belanja modal serta pengeluaran lain untuk kampanye yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai aktivitas operasi maupun aktivitas belanja modal. Aktivitas operasional terdiri dari Pertemuan terbatas, Pertemuan tatap muka dan dialog, Penyebaran melalui Media massa cetak dan media massa elektronik, Penyiaran melalui radio dan/atau televisi, Penyebaran bahan kampanye kepada umum, Pemasangan alat peraga di tempat umum, Rapat umum, Debat pasangan calon dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Sedangkan aktivitas belanja modal merupakan aktivitas transaksi untuk keperluan kampanye yang dapat menghasilkan barang modal, seperti pembelian TV, komputer, motor dan lain sebagainya. Perolehan dan pengelolaan dana kampanye tersebut menjadi tanggungjawab pasangan calon, sehingga sebagai bentuk pertanggungjawabannya, Pasangan calon diwajibkan untuk menyusun Laporan Penerimaan dan Penggunaan Dana Kampanye (LPPDK) dan menyerahkannya kepada KPUD sesuai dengan waktu yang ditentukan. LPPDK wajib dilaporkan kepada KPUD setempat paling lambat 3 (tiga) hari setelah hari pemungutan suara. Namun selain itu, yang berkaitan dengan penerimaan dana kampanye, pasangan calon juga wajib untuk membuka dan mendaftarkan rekening khusus dana kampanye pada waktu pendaftaran calon ke KPUD dan melaporkan sumbangan dana kampanye kepada KPUD 1 (satu) hari sebelum dimulainya kampanye dan 1 (satu) hari sesudah masa kampanye berakhir. Jika melihat periode pelaporan LPPDK yang dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah pasangan calon ditetapkan sebagai peserta PILKADA dan ditutup 1 (satu) hari sesudah masa kampanye berakhir maka dapat diartikan bahwa penggunaan dana oleh pasangan calon semestinya hanya untuk persiapan dan pelaksanaan kampanye. Namun, kenyataannya tidak seperti itu, bahkan sudah menjadi rahasian umum bahwa jauh hari sebelum pasangan calon melakukan deklarasi, mereka sudah harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit jumlahnya, dimulai dengan pengeluaran untuk mendapatkan dukungan partai politik ataupun dukungan masyarakat bagi calon independen, biaya untuk mengumpulkan massa pada saat melakukan deklarasi dan biaya untuk pemasangan baliho yang sudah terpajang jauh-jauh hari sebelum penetapan calon. Tidak hanya berhenti disitu saja, setelah masa kampanye pun pasangan calon masih harus mengeluarkan dana yang jumlahnya juga terbilang besar, misalnya membayar saksi pada setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan biaya kesekretariatan tim sukses sampai masa perhitungan suara selesai, belum lagi jika pasangan calon melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, salah satunya seperti yang sering diistilahkan sebagai “serangan fajar”. Disinilah terlihat jelas bahwa masih ada kekurangan dari regulasi tentang pelaporan perolehan dan penggunaan dana pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU. Namun, terlepas dari kekurangan tersebut, urgensi dari pelaporan LPPDK adalah selain untuk menjamin ketertiban administrasi, tentunya dapat dijadikan bahan dalam mengevaluasi pengelolaan dana kampanye oleh setiap pasangan calon. Hal ini juga dipertegas lagi dengan adanya keterlibatan pihak ketiga atau KAP untuk melakukan audit sesuai prosedur yang disepakati (agreed upon procedures). Point terpenting dalam kaitannya dengan dana Pasangan Calon ini adalah adanya kewajiban KPUD dalam mengumumkan Laporan Penerimaan Dana Kampanye dan LPPDK yang telah diaudit kepada masyarakat melalui media massa, agar masyarakat dapat secara objektif menilai asal, peruntukan dan pengelolaan dana kampanye yang dimiliki oleh setiap pasangan calon.
D.    Pilkada Menguras Anggaran Daerah
            Pemilihan kepala daerah (pilkada) selama ini memakai sumber dana dari APBD. Pelaksanaan pilkada akan memangkas anggaran untuk pendidikan, kesehatan, pembangunan sarana dan prasarana di daerah. Pemangkasan ini tidak cukup untuk satu tahun anggaran bahkan ada yang sampai 2-4 tahun anggaran. Jatah rakyat untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan menikmati sarana pembangun secara nyata dikurangi, baik kualitas maupun kuantitasnya. Tidak sedikit daerah yang  mengalami kebangkrutan karena pelaksanaannya dua putaran atau terjadi pilkada ulang.
Berdasarkan hasil temuan Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), penyelenggaraan pilkada di Indonesia sangat memboroskan anggaran daerah. Kalau dihitung-hitung, bisa menguras triliunan rupiah. Dijelaskan, setiap kali pilkada di kabupaten/kota, maka negara sedikitnya akan mengeluarkan biaya sekitar Rp 25 miliar. Sedangkan, ongkos pilkada provinsi sedikitnya Rp.100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan  sedikitnya Rp 17 triliun (KOMPAS.com).
Sebagai perbandingan, mari kita tinjau pelaksanaan pilkada di beberapa daerah yang paling banyak menghabiskan biaya. Di pengujung tahun 2012, ada Pilkada Kalimantan Barat (Kalbar) September 2012 lalu menghabiskan dana Rp 155 miliar. Beberapa hari  kemudian Pilkada DKI Jakarta juga digelar dan menghabiskan dana Rp 258 miliar. Tahun 2013 ini   seluruh provinsi besar di Indonesia akan menggelar pilkada.  Dimulai dari Pilkada Sumatera Utara (Pilgubsu) tanggal 7 Maret 2013. Anggaran Pilgubsu dipersiapkan Rp 459 miliar. Lalu disusul bergantian oleh Pilkada Jawa Barat yang menelan anggaran sebesar Rp 666 miliar Anggaran ini katanya sudah dihemat dari perkiraan semula yaitu Rp 1 triliun. Pilkada Sumatera Selatan yang dijadwalkan digelar pada 6 Juli 2013 menghabiskan anggaran sekitar Rp 424 miliar. Pemerintah Provinsi bersama DPRD Riau telah menetapkan alokasi anggaran Pilkada Riau tahun 2013 untuk dua putaran sebesar Rp283 miliar. Sementara itu, Pemerintah Jawa Timur memperkirakan bahwa  anggaran untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur  dan wakil gubernur Jawa Timur tahun 2013 yang lalu mencapai Rp 943 miliar. Jumlah tersebut bahkan hanya untuk satu putaran. Jika terjadi dua putaran anggaran akan membengkak menjadi Rp1,2 triliun.
Pemerintah  dan  DPRD Provinsi  Jateng  juga telah menyetujui dana sebesar Rp 621 miliar untuk pelaksanaan Pilgub Jawa tengah 2013 yang lalu. KPUD Jawa tengah meluncurkan tokoh pewayangan Gatotkaca sebagai maskot Pilkada Jawa tengah 2013. Sementara provinsi terbesar di Pulau Sulawesi yaitu Provinsi Sulawesi Selatan juga akan menggelar pilkada tahun 2013. Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan memperkirakan biaya pemilihan gubernur pada tahun 2013 mencapai Rp 350 miliar. Pemekaran daerah dan meningkatnya honor pelaksana pilkada menyebabkan  anggaran membengkak hingga 75 persen dari pemilihan gubernur sebelumnya.
E.     Mengurangi Kesejahteraan Rakyat
Betapa fantastisnya anggaran pilkada di atas! Anggaran tersebut tentu diambil dari dana APBD masing-masing daerah. Sumber dana berasal dari PAD (pendapatan asli daerah), pajak, retribusi, laba BUMD, dana bantuan pusat, dan lain sebagainya. Pos anggaran berasal dari pos-pos anggaran lain yang dikurangi porsinya.
Logikanya, pelaksanaan pilkada  tentu  akan  mengurangi  kesejahteraan rakyat. Dana yang seharusnya  untuk  pendidikan  dikurangi  untuk  pelaksanaan  pilkada. Pembangunan atau perbaikan sekolah akan ditunda untuk 2-3 tahun kemudian. Di bidang kesehatan karena  anggaran dikurangi, maka  pembangunan rumah sakit atau puskesmas akan tertunda pula, demikian  juga  pengobatan untuk masyarakat miskin akan dikurangi.
Rakyat pun akan semakin sengsara, jalan-jalan rusak yang seharusnya diaspal juga akan ditunda beberapa tahun lagi. Ruas jalan yang seharusnya diaspal sepanjang 10 km, tapi dikurangi menjadi 5 km, sisanya cukup aspal tambal sulam saja. Demikian juga perbaikan jembatan harus ditangguhkan dahulu untuk kepenti   ngan dana pilkada,semoga saja tidak ada jembatan yang runtuh.
Dana yang seharusnya untuk kepentingan rakyat, untuk meningkatkan perekonomian, pembangunan pasar, pemberian kredit usaha kecil menengah, kredit perumahan murah, penciptaan lapangan kerja baru, pemberian beasiswa, perbaikan atau peningkatan infrastruktur, dan lain sebagainya akan dikurangi alokasinya. Semuanya akan tunduk dan dikurangi akibat kepentingan anggaran pilkada yang konon harus tetap dilangsungkan. Biar pun pemerintah daerah tersebut bangkrut, rakyat sengsara, terjadi kelaparan, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, bahkan jika langit runtuh sekalipun, pilkada harus tetap terlaksana kemudian.
F.     Pemilu Serentak
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mengusulkan agar pilkada dilaksanakan secara serentak di Indonesia karena bisa menghemat anggaran. Menurut perhitungan, kalau pilkada serentak, cuma diperlukan Rp 10 triliun. Ini lebih hemat Rp 7 triliun jika dibandingkan dengan pelaksanaan pilkada dengan jadwal yang sporadic seperti selama ini (KOMPAS.com).
Kemudian juga diusulkan agar pilkada dibiayai APBN, bukan APBD. Pembiayaan pilkada melalui APBD memberi peluang besar bagi politisi di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran. Selama ini, calon yang sedang berkuasa atau incumbent dapat menggunakan instrumen anggaran untuk  memperkuat posisi tawar politiknya.Caranya, incumbent menjanjikan kenaikan honor, bonus atau ‘success fee’ kepada penyelenggara pemilu. Ini tentu, berdampak pada tidak netralnya penyelenggara pilkada.
Politisasi  anggaran  sudah  lama muncul  saat tahap  pilkada  mulai. Di beberapa daerah, pemerintah daerah banyak belum mengalokasikan anggaran pilkada. Alasannya, daerah tidak memiliki anggaran tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu, banyak daerah belum menetapkan APBD untuk tahapan pilkada. Tapi, semua ini bagian dari politisasi  anggaran,  bergaining  dari incumbent kepada  penyelenggara  pilkada. Mengulur-ulur anggaran pilkada agar bisa bargaining dengan KPUD, merupakan praktik yang sering terjadi selama ini. Untuk itu perlu direkomendasikan agar pembiayaan pilkada diambil dari APBN,untuk menghindari tumpang-tindih pembiayaan dan politisasi anggaran.
Sebenarnya wacana agar pemilu atau pilkada dilaksanakan secara serentak telah lama diusulkan, atau wacana agar gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi. Tapisampai saat ini pembahasannya masih terhenti di DPR. Sepertinya tidak ada niat politikdari DPR untuk menuntaskan masalah ini secepatnya. Maklum saja, bagi anggota dewan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga KPU, pemilu atau pilkada adalah sebuah proyek yang menguntungkan. Ada banyak pihak yang takut ‘job’-nya  tereliminasi jika aturan  tersebut dijalankan. Mereka tidak perduli mahalnya demokrasi seperti ini, the show must go on. Pilkada harus tetap terlaksana, merekalah yang membajak makna dan proses demokrasi  demi  uang  dan  kekuasaan  dengan mengatasnamakan rakyat. Demokrasi semacam  ini  akan  sulit  mendatangkan kesejahteraan  bagi rakyat.
G.    Kendala dan Solusinya
Seiring berjalannya waktu, ternyata beberapa penyelenggaraan Pilkada di daerah lain mengalami kendala yang sama yaitu masalah biaya penyelenggaraan Pilkada, mulai dari proses penganggaran sampai pencairan dananya.
Sebenarnya, terdapat dua persoalan anggaran yang dihadapi KPU kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada. Pertama yaitu, di mana anggaran yang diajukan oleh KPUD pada pemerintah daerah telah disetujui oleh DPRD, namun dana belum tersedia karena baru dapat dicairkan pada tahun berikutnya. Sedangkan yang kedua, dana telah tersedia namun tidak memadai untuk penyelenggaran Pilkada.
Untuk itu, agar pemerintah daerah memprioritaskan pendanaan penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah pada saat penyusunan APBD, maka seharusnya ada penegasan di dalam aturan mengenai teknis bagi pemerintah Provinsi/Kota. Sebagai contoh, berdasarkan Pokok-pokok kebijakan Penyusunan APBD yang terdapat pada Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010, disebutkan bahwa:
“Pemerian Hibah untuk mendukung fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh pemerintah (Instansi Vertikal seperti TMMD dan KPUD), semi Pemerintah (seperti PMI, KONI, Pramuka, Korpri, dan PKK, Pemerintah Daerah Lainnya, Perusahaan daerah, serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, dapat dianggarkan dalam APBD”.
Jika ketentuan tersebut dicermati, maka dapat dilihat bahwa Menteri Dalam Negeri tidak dengan tegas “memaksa” daerah agar memprioritaskan pendanaan penyelenggaraan Pilkada dalam penyusunan APBD. Seharusnya di dalam aturan tersebut, ketentuan mengenai pemberian hibah untuk KPUD agar diatur secara khusus diluar aturan pemberian hibah pada umumnya. Hal ini dikarenakan meskipun pemberian (belanja) hibah bersifat tidak wajib, namun khusus untuk KPUD haruslah bersifat wajib dianggarkan di dalam APBD dalam rangka menunjan keberhasilan penyelenggaraan Pilkada.
H.    Kasus dana hibah Rp 142 M Pilgub Jatim, 6 pejabat Bawaslu tersangka
Kasus ini mencuat, ketika seseorang mengaku bernama Sekar Melati, dengan alamat Jalan Tanggulangin Nomor 3 Surabaya, yang tak lain adalah Kantor Bawaslu Jawa Timur, merkirim surat pengaduan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan disertai tembusan ke BPK RI, Setdaprov dan Polda Jawa Timur. Selanjutnya, kasus ini mulai dilirik oleh pihak Polda Jawa Timur dan memeriksa 30 orang, baik dari kabupaten dan kota (Panwaslu), terkait dugaan korupsi dana hibah yang diterima Bawaslu Jatim. Tapi ini masih sebatas saksi-saksi, belum sampai penetapan tersangka.
Beberapa hari kemudian peyidik Subdit III Tindak Pidana Korupsi, Dirreskrimsus Polda Jawa Timur, menetapkan enam pejabat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tersangka kasus dugaan penyalahgunaan dana hibah Rp 142 miliar untuk Pilgub Jawa Timur 2013 lalu. Keenam orang itu adalah Ketua Bawaslu Jawa Timur, SF, AMR (Sekertaris Bawaslu Jatim), SSP dan AP (anggota Bawaslu Jatim), GSW (Bendahara Bawaslu Jatim), serta IDY (rekanan penyedia barang dan jasa). Setelah melalui proses penyelidikan dan pemeriksaan, ke enamnya tetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah Pilgub Jatim 2013 lalu. Dari enam pejabat Bawaslu yang ditetapkan tersangka, baru AMR yang diperiksa. Setelah menjalani pemeriksaan, Sekertaris Bawaslu itu, langsung dimasukkan ke tahanan Mapolda Jawa Timur.
Dari hasil penyelidikan Polda Jawa Timur  diketahui modus penyalaggunaan dana hibah itu dilakukan dengan membuat kontrak fiktif pengadaan barang dan jasa. "Kemudian merubah rencana anggaran biaya, tidak menyetor sisa pembiayaan anggaran, dan tidak menyetorkan bunga bank. Penyidik mencontohkan model penyalahgunaan dana Pilgub Jatim yang dilakukan Bawaslu, seperti mengadakan kegiatan di hotel selama satu minggu. Tapi realisasinya hanya tiga hari saja. "Kemudian pengadaan dua ribu unit spanduk, tapi realisasinya hanya 800 unit saja. Dan dari hasil audit BPKP, akibat mark-up anggaran ini, kerugian negara mencapai Rp 5,6 miliar.
            Terbongkarnya kasus dugaan korupsi dana hibah ini sendiri, kata bermula dari laporan mantan pejabat di Sekertaris Bawaslu Jawa Timur, bidang pengadaan barang dan jasa, Samudji Hendrik Susilo. Dalam laporan itu, Samudji menyebut adanya penyalahgunaan dana hibah untuk Pilgub Jawa Timur 2013, yang total anggarannya senilai Rp 142 miliar. Dari total anggaran itu, 80 persennya digunakan untuk honor komisioner dan petugas pengawas lapangan (PPL) di 38 kabupaten dan kota. Namun, setelah Inspektorat Jawa Timur melakukan audit, ternyata ada sisa dana SILPA sebesar Rp 5 miliar, yang seharusnya dikembalikan. Tapi, saat dilakukan pemeriksaan di bulan September 2014 lalu, diketahui Bawaslu Jawa Timur, hanya menyetor Rp 2,4 miliar dari total Rp 5 miliar tersebut."Untuk sementara, dari hasil korupsi dana hibah ini, penyidik mengamankan uang negara senilai Rp 520 juta, sebagai barang bukti. Kemudian uang pengembalian THR Rp 7,5 juta, kwitansi fiktif, NPHD (naskah perjanjian hibah daerah), dan dokumen mark-up hingga dokumen kontrak fiktif.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Suap pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung relatif sulit untuk dibuktikan sehingga kasusnya sulit berlanjut lebih disebabkan karena masalah bukti dan pembuktian. Selain alat bukti yang sulit didapat, saksi pun tidak dijamin keberadaannya, sehingga proses peradilan suap pun sulit untuk dilaksanakan. Disamping itu, UU 32/2004 sebagai perangkat hukum yang mengatur masalah pilkada menciptakan aturan yang membuka peluang suap, baik di tingkat partai politik ataupun pada setiap tahapan Pilkada. Disamping itu, lemahnya pengaturan (tidak terperinci) masalah suap di dalam UU 32/2004 menjadikan pelaku suap dapat dengan leluasa melakukan kejahatan pidana pemilu ini.
B.     Saran
Pengaturan untuk pemilihan kepala daerah masih memerlukan banyak perbaikan dan penyesuaian dengan undang-undang pemilu. Selain itu, penyelenggara pemilu perlu lebih aktif dan inisiatif dalam melakukan pengawasan terhadap penyeleggaraan pilkada untuk mencegah dan mengatasi politik uang. Mekanisme pencalonan yang juga memakan biaya tinggi, perlu untuk diatur lebih tegas untuk dapat mengurangi biaya politik oleh bakal calon kandidat. Partai politik juga perlu untuk melakukan proses pencalonan dengan lebih demokratis dan terbuka, bukan dengan transaksi.
  
DAFTAR PUSTAKA