“MAKALAH KASUS DANA PILKADA ”
OLEH:
KELOMPOK
KORSA:
N RAMADHAN US 10800112121
ISRAWATI 10800112103
HASMA 10800112110
ROMI NUGRAHA 10800112124
PUTRI INDAH 10800112115
MUTMAINNAH 10800112100
ROSMINI HAMZAH 10800112111
JURUSAN
AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Uang adalah segalanya. Iitulah ungkapan yang mungkin pantas
diucapkan melihat realitas yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada saat ini.
Karena selain bersumber dari uang rakyat, pesta demokrasi tersebut juga
ternyata menguras dana yang tidak sedikit dari setiap pasangan calon yang
berkompetisi. Pada tahun 2010 ini, sesuai jadwal yang dipublikasikan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU), setidaknya terdapat 245 daerah yang menyelenggarakan
Pilkada, terdiri dari 7 Pemerintah Provinsi dan 238 Pemerintah Kabupaten/Kota.
(Untuk Tahun 2015 mendatang, setidaknya akan ada 245 Pilkada terdiri dari 7
Pemerintah Propinsi, 203 Kabupaten dan 35 Kota di seluruh Indonesia) Dari
jumlah tersebut, rasanya saat ini masih terlalu dini untuk dapat
mengidentifikasi secara kumulatif berapa jumlah dana yang dikeluarkan dalam
rangka perhelatan pesta demokrasi tersebut, karena bukan hanya dari sisi
penggunaan uang rakyat yang dikelola oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
saja, tapi hal ini juga akan berkaitan dengan dana yang dikeluarkan dari kocek
masing-masing pasangan calon. Terlepas dari perkiraan jumlah dana yang mungkin
sangat fantastis itu, tulisan ini mencoba untuk menggambarkan dari mana saja
dana tersebut berasal, untuk apa serta siapa saja yang menggunakan dan
bertanggungjawab terhadap penggunaan dana dalam Pilkada tersebut, termasuk
bagaimana dampak beredarnya dana tersebut bagi masyarakat.
Kesadaran akan
pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
peran rakyat Indonesia yang dalam melaksanakan Pemilihan Umum dengan jumlah
pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan umum ini
langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih presiden dan
wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Walaupun masih
terdapat masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan. Tetapi masih dapat
dikatakan suses.
Setelah suksesnya
Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11
propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para
pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat menentukan peminpin daerahnya menurut
hati nuraninya sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
asal usul pendanaan Pilkada?
2. Berasal
dari mana Dana KPUD?
3. Berasal
dari mana Dana pasangan calon?
4. Bagaimana Pilkada
menguras Anggaran Daerah?
5. Apakah
dengan adanya pendana pilkada dapat mengurangi kesejahteraan masyarakat?
6. Bagaimana pengaruh Pemilu serentak
terhadap dana pilkada?
7. Apa
kendala yang dihadapi dan bagaimana solusinya?
8. Contoh
kasus!
C.
Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan mengenai asal usul dana
pilkada, dana KPUD, dana psangan calon, dan bagaimana pilkada tersebut menguras
anggaran daerah yang mengakibatkan kurangnya kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya makalah ini juga menjelaskan pengaruh pemilu serentak terhadap dana
pilkada serta beberapa kendala yang mungkin dihadapi kemudian memberikan solusi
yang tepat, serta contoh kasus dari dana pilkada.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pendanaan Pilkada
Salah satu hal yang menarik mengenai
tata cara penyelenggaraan Pilkada di dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 adalah sumber
pendanaannya. Pasal 114 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa pendanaan
penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah wajib dianggarkan
dalam APBD. Hal ini berbeda dengan Pemilu Preside, DPR, DPD, serta DPRD dimana
biaya penyelenggaranya bersumber dari APBN (lihat pasal 114 ayat (2)).
Berdasarkan aturan pelaksanaanya,
pengaturan tentang pendanaan penyelenggaraan pemilhan kepala daerah yang
terdapat di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun
2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah) tidak mengatur secara tegas mengenai prioritas pendanaan untuk
pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri
tersebut merupakan salah satu aturan pelaksana dari UU Nomor 22 Tahun 2007.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat
di dalam Pasal 3 Permendagri Nomor 44 Tahun 2007, pendanaan penyelenggaraan Pemilu
kepala daerah diklasifikasikan ke dalam kelompok belanja tidak langsung dan
masuk ke dalam jenis belanja hibah, obyek belanja hibah Pemilu kepala daerah
dan wakil kepala daerah kepada KPU Kabupaten/Kota. Menurut ketentuan Pasal 42
ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja hibah digunakan untuk menganggarkan
pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau
pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi
kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.
Hambatannya adalah apabila pendanaan pemilihan umum
kepala daerah dimasukkan ke dalam kelompok belanja hibah, berarti pemerintah
daerah tidak mempunyai kewajiban/keharusan untuk menganggarkan pendanaan
penyelenggaraan Pemilu kepala daerah di dalam APBD. Hal ini disebabkan
karena Pasal 44 ayat (1) Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 menyatakan bahwa
belanja hibah bersifat bantuan yang tidak mengikat/tidak secara terus-menerus
dan tidak wajib, serta harus digunakan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
di dalam naskah perjanjian hibah daerah. Padahal ketentuan di dalam Pasal 114
Ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dengan
tegas mengatur bahwa pendanaan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah wajib dianggarkan dalam APBD.
Dengan adanya ketentuan tersebut,
pemerintah daerah dimungkinkan untuk memprioritaskan penggunaan anggarannya
untuk keperluan pembangunannya ketimbang penganggaran untuk pelaksaan Pilkada.
Seperti yang pernah terjadi di Daerah Kota Semarang ketika Pemilu Walikota
Semarang tahun 2010. Akibatnya, ketika akan dimulai masa perisapan Pemilihan
Umum Walikota Semarang Tahun 2010 yang menurut jadwal dilakukan pada bulan
Agustus 2009, KPU Kota Semarang belum dapat mencairkan dana yang berasal dari
APBD Kota Semarang karena tidak adanya pengalokasian dana tersebut di dalam
APBD Kota Semarang Tahun 2009. Padahal dana yang dibutuhkan KPU Kota Semarang
pada tahun 2009 sebesar Rp3.422.660.500 (tiga milyar empat ratus dua puluh dua
juta enam ratus enam puluh ribu lima ratus rupiah) dari total kebutuhan dana
sampai dengan Pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Semarang 2010 sebesar
Rp21.131.110.000 (dua puluh satu miliyar seratus tiga puluh delapan juta
seratus sepuluh ribu rupiah)
Lalu bagaimana kelanjutannya? Untuk
mengatasi ketiadaan dana pada tahun 2009, KPU Kota Semarang melalui Sekretaris
Jenderal-nya mengusulkan dana penyelenggaraan Pilkada kepada Pemerintah Kota
Semarang agar dibahas bersama DPRD dan dialokasikan di dalam APBD Perubahan Tahun
2009. Akhirnya pada bulan Desember 2009 diterbitkanlah Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Perubahan Anggaran PEndapatan dan Belanja
Daerah Kota Semarang Tahun 2009. Peraturan daerah tersebut yang kemudian
menjadi dasar pencairan dana bagi KPU Kota Semarang.
B.
Dana KPUD
Sebagai penyelenggara PILKADA, KPUD sudah diperhadapkan pada
permasalahan keuangan ketika memasuki tahapan persiapan penyelenggaraan
PILKADA, karena sebagaimana diatur pada pasal 4 Peraturan KPU nomor 62 TAHUN
2009 (asumsi belum ada PKPU terbaru) maka salah satu yang harus dilakukan
adalah penyusunan program dan anggaran yang penyusunannya mengikuti jadwal
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai dengan tahun
anggaran dan kebutuhan tahapan penyelenggaraan PILKADA, sehingga dapat
dikatakan bahwa dana yang digunakan oleh KPUD merupakan dana yang bersumber
dari Pemerintah Daerah (uang rakyat). Penggunaan dana Pemerintah Daerah
tersebut didasarkan pada Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 63 Tahun 2009 (asumsi
belum ada PKPU terbaru), yang menyatakan bahwa seluruh biaya untuk pelaksanaan
tugas KPUD (Provinsi, Kabupaten/Kota), anggota PPK, PPS dan KPPS dalam
penyelenggaraan PILKADA dibebankan pada anggaran APBD, termasuk biaya jasa
audit Kantor Akuntan Publik (KAP). Point terpenting dalam kaitannya dengan dana
KPUD ini adalah karena dananya bersumber dari uang rakyat maka masyarakat
berhak untuk mengetahui segala penggunaannya. Untuk itu, sebagai bentuk
pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut, KPUD berkewajiban untuk
menyampaikan laporan Pertanggungjawaban Anggaran Pilkada pada tahap
penyelesaian nantinya.
C.
Dana Pasangan Calon
Selain Dana KPUD, sebagai calon pemilih, kiranya masyarakat
perlu juga untuk mengetahui perihal dana pasangan calon. Dana pasangan calon
mulai dapat tergambarkan pada pengajuan bakal pasangan calon karena sesuai
dengan pasal 9 Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 (asumsi belum ada PKPU
terbaru) maka setiap bakal pasangan calon harus menyerahkan daftar kekayaan
pribadi yang selanjutnya akan diumumkan kepada masyarakat. Dari informasi
daftar kekayaan pribadi inilah, tentunya masyarakat akan mendapatkan gambaran
awal seberapa besar jumlah modal pasangan calon dalam mengikuti PILKADA. Selain
menggunakan dana pribadi, sebagaimana diatur pada pasal 5 – 12 Peraturan KPU
Nomor 06 Tahun 2010 (asumsi belum ada PKPU terbaru), pasangan calon
diperbolehkan untuk menerima sumbangan dari pihak lain terutama dukungan dana
dalam pelaksanaan kampanye yang hanya dapat bersumber dari partai
politik/gabungan partai politik pendukung, perseorangan yang secara kumulatif
tidak melebihi 50 Juta Rupiah dan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/ atau
badan hukum swasta yang juga secara kumulatif nilainya tidak melebihi 350 Juta
Rupiah. Keterkaitannya dengan sumbangan dana kampanye tersebut, pasangan calon
tidak diperkenankan untuk menerima dana dari negara asing, lembaga swasta
asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing; penyumbang atau
pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya; serta pemerintah, BUMN dan BUMD.
Namun, jika seandainya Pasangan Calon dan/atau tim kampanye menerima sumbangan
dari pihak-pihak tersebut maka sebagaimana ketentuan ini, pasangan calon tidak
dibenarkan menggunakan dana tersebut, wajib melaporkannya ke KPUD serta
menyerahkan sumbangan tersebut kepada Kas Daerah paling lambat 14 (empat belas)
hari setelah masa kampanye berakhir, dan apabila pasangan calon tidak
melaksanakannya maka keikutsertaannya sebagai peserta PILKADA dapat dibatalkan
oleh KPUD. Dalam hal penggunaan dana kampanye, sebagaimana tertuang dalam
lampiran peraturan KPU Nomor 06 Tahun 2010 meliputi aktivitas operasional dan
aktivitas belanja modal serta pengeluaran lain untuk kampanye yang tidak dapat
diklasifikasikan sebagai aktivitas operasi maupun aktivitas belanja modal.
Aktivitas operasional terdiri dari Pertemuan terbatas, Pertemuan tatap muka dan
dialog, Penyebaran melalui Media massa cetak dan media massa elektronik,
Penyiaran melalui radio dan/atau televisi, Penyebaran bahan kampanye kepada
umum, Pemasangan alat peraga di tempat umum, Rapat umum, Debat pasangan calon
dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Sedangkan
aktivitas belanja modal merupakan aktivitas transaksi untuk keperluan kampanye yang
dapat menghasilkan barang modal, seperti pembelian TV, komputer, motor dan lain
sebagainya. Perolehan dan pengelolaan dana kampanye tersebut menjadi
tanggungjawab pasangan calon, sehingga sebagai bentuk pertanggungjawabannya,
Pasangan calon diwajibkan untuk menyusun Laporan Penerimaan dan Penggunaan Dana
Kampanye (LPPDK) dan menyerahkannya kepada KPUD sesuai dengan waktu yang
ditentukan. LPPDK wajib dilaporkan kepada KPUD setempat paling lambat 3 (tiga)
hari setelah hari pemungutan suara. Namun selain itu, yang berkaitan dengan
penerimaan dana kampanye, pasangan calon juga wajib untuk membuka dan
mendaftarkan rekening khusus dana kampanye pada waktu pendaftaran calon ke KPUD
dan melaporkan sumbangan dana kampanye kepada KPUD 1 (satu) hari sebelum dimulainya
kampanye dan 1 (satu) hari sesudah masa kampanye berakhir. Jika melihat periode
pelaporan LPPDK yang dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah pasangan calon
ditetapkan sebagai peserta PILKADA dan ditutup 1 (satu) hari sesudah masa
kampanye berakhir maka dapat diartikan bahwa penggunaan dana oleh pasangan
calon semestinya hanya untuk persiapan dan pelaksanaan kampanye. Namun,
kenyataannya tidak seperti itu, bahkan sudah menjadi rahasian umum bahwa jauh
hari sebelum pasangan calon melakukan deklarasi, mereka sudah harus
mengeluarkan dana yang tidak sedikit jumlahnya, dimulai dengan pengeluaran
untuk mendapatkan dukungan partai politik ataupun dukungan masyarakat bagi
calon independen, biaya untuk mengumpulkan massa pada saat melakukan deklarasi
dan biaya untuk pemasangan baliho yang sudah terpajang jauh-jauh hari sebelum
penetapan calon. Tidak hanya berhenti disitu saja, setelah masa kampanye pun
pasangan calon masih harus mengeluarkan dana yang jumlahnya juga terbilang
besar, misalnya membayar saksi pada setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan
biaya kesekretariatan tim sukses sampai masa perhitungan suara selesai, belum
lagi jika pasangan calon melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, salah
satunya seperti yang sering diistilahkan sebagai “serangan fajar”. Disinilah
terlihat jelas bahwa masih ada kekurangan dari regulasi tentang pelaporan
perolehan dan penggunaan dana pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU. Namun,
terlepas dari kekurangan tersebut, urgensi dari pelaporan LPPDK adalah selain
untuk menjamin ketertiban administrasi, tentunya dapat dijadikan bahan dalam
mengevaluasi pengelolaan dana kampanye oleh setiap pasangan calon. Hal ini juga
dipertegas lagi dengan adanya keterlibatan pihak ketiga atau KAP untuk
melakukan audit sesuai prosedur yang disepakati (agreed upon procedures). Point
terpenting dalam kaitannya dengan dana Pasangan Calon ini adalah adanya
kewajiban KPUD dalam mengumumkan Laporan Penerimaan Dana Kampanye dan LPPDK
yang telah diaudit kepada masyarakat melalui media massa, agar masyarakat dapat
secara objektif menilai asal, peruntukan dan pengelolaan dana kampanye yang
dimiliki oleh setiap pasangan calon.
D.
Pilkada
Menguras Anggaran Daerah
Pemilihan
kepala daerah (pilkada) selama ini memakai sumber dana dari APBD. Pelaksanaan pilkada
akan memangkas anggaran untuk pendidikan, kesehatan, pembangunan sarana dan
prasarana di daerah. Pemangkasan ini tidak cukup untuk satu tahun anggaran
bahkan ada yang sampai 2-4 tahun anggaran. Jatah rakyat untuk memperoleh
pendidikan, kesehatan, dan menikmati sarana pembangun secara nyata dikurangi,
baik kualitas maupun kuantitasnya. Tidak sedikit daerah
yang mengalami kebangkrutan karena pelaksanaannya dua putaran atau
terjadi pilkada ulang.
Berdasarkan
hasil temuan Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran),
penyelenggaraan pilkada di Indonesia sangat memboroskan anggaran daerah. Kalau
dihitung-hitung, bisa menguras triliunan rupiah. Dijelaskan, setiap kali
pilkada di kabupaten/kota, maka negara sedikitnya akan mengeluarkan
biaya sekitar Rp 25 miliar. Sedangkan, ongkos
pilkada provinsi sedikitnya Rp.100 miliar. Jadi untuk
keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan sedikitnya Rp 17 triliun
(KOMPAS.com).
Sebagai perbandingan,
mari kita tinjau pelaksanaan pilkada di
beberapa daerah yang paling banyak menghabiskan biaya. Di
pengujung tahun 2012, ada Pilkada Kalimantan Barat
(Kalbar) September 2012 lalu menghabiskan dana Rp 155
miliar. Beberapa hari kemudian Pilkada DKI Jakarta juga digelar dan menghabiskan dana Rp
258 miliar. Tahun 2013 ini
seluruh provinsi besar di Indonesia akan menggelar
pilkada. Dimulai dari Pilkada Sumatera Utara (Pilgubsu)
tanggal 7 Maret 2013. Anggaran Pilgubsu dipersiapkan Rp 459
miliar. Lalu disusul bergantian oleh Pilkada Jawa Barat yang
menelan anggaran sebesar Rp 666
miliar Anggaran ini katanya sudah dihemat dari
perkiraan semula yaitu Rp 1 triliun. Pilkada Sumatera Selatan
yang dijadwalkan digelar pada 6 Juli 2013
menghabiskan anggaran sekitar Rp 424 miliar.
Pemerintah Provinsi bersama DPRD Riau telah menetapkan alokasi
anggaran Pilkada Riau tahun 2013 untuk dua putaran sebesar
Rp283 miliar. Sementara itu,
Pemerintah Jawa Timur memperkirakan bahwa anggaran
untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur
dan wakil gubernur Jawa Timur tahun 2013 yang lalu
mencapai Rp 943
miliar. Jumlah tersebut bahkan hanya untuk satu putaran. Jika terjadi
dua putaran
anggaran akan membengkak menjadi Rp1,2 triliun.
Pemerintah
dan DPRD Provinsi Jateng
juga telah menyetujui dana sebesar Rp 621
miliar untuk pelaksanaan Pilgub Jawa tengah 2013 yang lalu.
KPUD Jawa tengah
meluncurkan tokoh pewayangan Gatotkaca sebagai maskot Pilkada Jawa
tengah 2013. Sementara provinsi terbesar di Pulau Sulawesi
yaitu Provinsi Sulawesi Selatan juga akan menggelar pilkada tahun
2013. Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan
memperkirakan biaya pemilihan gubernur pada tahun 2013
mencapai Rp 350 miliar. Pemekaran daerah dan meningkatnya
honor pelaksana pilkada menyebabkan anggaran membengkak hingga
75 persen dari pemilihan gubernur sebelumnya.
E.
Mengurangi Kesejahteraan Rakyat
Betapa fantastisnya anggaran pilkada
di atas! Anggaran tersebut tentu diambil dari dana APBD
masing-masing daerah. Sumber dana berasal dari PAD
(pendapatan asli daerah), pajak, retribusi, laba BUMD, dana bantuan pusat,
dan lain sebagainya. Pos
anggaran berasal dari pos-pos anggaran lain yang
dikurangi porsinya.
Logikanya,
pelaksanaan pilkada tentu akan mengurangi kesejahteraan rakyat.
Dana yang seharusnya untuk pendidikan dikurangi untuk pelaksanaan
pilkada. Pembangunan
atau perbaikan sekolah akan ditunda untuk 2-3
tahun kemudian. Di bidang kesehatan karena anggaran dikurangi,
maka pembangunan rumah sakit atau puskesmas akan tertunda
pula, demikian juga pengobatan untuk masyarakat miskin
akan dikurangi.
Rakyat pun
akan semakin sengsara, jalan-jalan rusak yang
seharusnya diaspal
juga akan ditunda beberapa tahun lagi. Ruas jalan
yang seharusnya diaspal sepanjang 10 km,
tapi dikurangi menjadi 5 km,
sisanya cukup aspal tambal sulam saja. Demikian juga
perbaikan jembatan harus ditangguhkan dahulu untuk kepenti ngan dana pilkada,semoga saja tidak ada jembatan
yang runtuh.
Dana yang
seharusnya untuk kepentingan rakyat, untuk meningkatkan
perekonomian, pembangunan pasar,
pemberian kredit usaha kecil menengah, kredit perumahan murah,
penciptaan lapangan kerja baru,
pemberian beasiswa, perbaikan atau peningkatan infrastruktur,
dan lain sebagainya akan dikurangi alokasinya. Semuanya akan
tunduk dan dikurangi akibat kepentingan anggaran pilkada
yang konon harus tetap dilangsungkan. Biar pun
pemerintah daerah tersebut bangkrut,
rakyat sengsara, terjadi kelaparan, gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, bahkan jika langit runtuh sekalipun,
pilkada harus tetap terlaksana kemudian.
F.
Pemilu Serentak
Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran mengusulkan agar pilkada
dilaksanakan secara serentak di Indonesia
karena bisa menghemat anggaran. Menurut perhitungan,
kalau pilkada serentak, cuma diperlukan Rp 10
triliun. Ini lebih hemat Rp 7
triliun jika dibandingkan dengan pelaksanaan pilkada dengan
jadwal yang sporadic seperti selama ini (KOMPAS.com).
Kemudian juga diusulkan
agar pilkada dibiayai APBN, bukan APBD. Pembiayaan pilkada melalui
APBD memberi peluang besar bagi politisi di daerah
untuk melakukan politik dan politisasi anggaran. Selama ini,
calon yang sedang berkuasa atau incumbent
dapat menggunakan instrumen anggaran untuk memperkuat
posisi tawar politiknya.Caranya, incumbent menjanjikan kenaikan
honor, bonus atau ‘success fee’ kepada penyelenggara pemilu. Ini tentu,
berdampak pada tidak netralnya penyelenggara pilkada.
Politisasi
anggaran sudah lama muncul saat tahap
pilkada mulai. Di beberapa daerah,
pemerintah daerah banyak belum mengalokasikan anggaran pilkada. Alasannya,
daerah tidak memiliki anggaran tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu,
banyak daerah belum menetapkan APBD
untuk tahapan pilkada. Tapi, semua ini bagian dari
politisasi anggaran, bergaining dari incumbent
kepada penyelenggara pilkada.
Mengulur-ulur anggaran pilkada agar bisa bargaining dengan KPUD,
merupakan praktik yang sering terjadi selama ini. Untuk itu perlu
direkomendasikan agar pembiayaan pilkada diambil dari
APBN,untuk menghindari tumpang-tindih pembiayaan dan politisasi
anggaran.
Sebenarnya wacana
agar pemilu atau pilkada dilaksanakan secara serentak telah
lama diusulkan, atau wacana agar
gubernur dipilih oleh anggota DPRD
Provinsi. Tapisampai saat ini pembahasannya masih terhenti
di DPR. Sepertinya tidak ada niat politikdari DPR
untuk menuntaskan masalah ini secepatnya. Maklum saja,
bagi anggota dewan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga
KPU, pemilu atau pilkada adalah sebuah proyek yang menguntungkan. Ada
banyak pihak yang takut ‘job’-nya tereliminasi jika aturan
tersebut dijalankan. Mereka tidak perduli mahalnya
demokrasi seperti ini, the show must go on.
Pilkada harus tetap terlaksana, merekalah yang membajak
makna dan proses demokrasi demi uang dan kekuasaan
dengan mengatasnamakan rakyat. Demokrasi semacam ini
akan sulit mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.
G.
Kendala
dan Solusinya
Seiring berjalannya waktu, ternyata
beberapa penyelenggaraan Pilkada di daerah lain mengalami kendala yang sama
yaitu masalah biaya penyelenggaraan Pilkada, mulai dari proses penganggaran
sampai pencairan dananya.
Sebenarnya, terdapat dua persoalan
anggaran yang dihadapi KPU kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada.
Pertama yaitu, di mana anggaran yang diajukan oleh KPUD pada pemerintah daerah
telah disetujui oleh DPRD, namun dana belum tersedia karena baru dapat
dicairkan pada tahun berikutnya. Sedangkan yang kedua, dana telah tersedia
namun tidak memadai untuk penyelenggaran Pilkada.
Untuk itu, agar pemerintah daerah
memprioritaskan pendanaan penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah pada
saat penyusunan APBD, maka seharusnya ada penegasan di dalam aturan mengenai
teknis bagi pemerintah Provinsi/Kota. Sebagai contoh, berdasarkan Pokok-pokok
kebijakan Penyusunan APBD yang terdapat pada Lampiran Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010,
disebutkan bahwa:
“Pemerian Hibah untuk mendukung
fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh pemerintah
(Instansi Vertikal seperti TMMD dan KPUD), semi Pemerintah (seperti PMI, KONI,
Pramuka, Korpri, dan PKK, Pemerintah Daerah Lainnya, Perusahaan daerah, serta
masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan
peruntukannya, dapat dianggarkan dalam APBD”.
Jika ketentuan tersebut dicermati,
maka dapat dilihat bahwa Menteri Dalam Negeri tidak dengan tegas “memaksa”
daerah agar memprioritaskan pendanaan penyelenggaraan Pilkada dalam penyusunan
APBD. Seharusnya di dalam aturan tersebut, ketentuan mengenai pemberian hibah
untuk KPUD agar diatur secara khusus diluar aturan pemberian hibah pada
umumnya. Hal ini dikarenakan meskipun pemberian (belanja) hibah bersifat tidak
wajib, namun khusus untuk KPUD haruslah bersifat wajib dianggarkan di dalam
APBD dalam rangka menunjan keberhasilan penyelenggaraan Pilkada.
H.
Kasus
dana hibah Rp 142 M Pilgub Jatim, 6 pejabat Bawaslu tersangka
Kasus ini mencuat,
ketika seseorang mengaku bernama Sekar Melati, dengan alamat Jalan Tanggulangin
Nomor 3 Surabaya,
yang tak lain adalah Kantor Bawaslu Jawa Timur, merkirim surat pengaduan ke
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan disertai tembusan ke BPK RI,
Setdaprov dan Polda Jawa Timur. Selanjutnya, kasus ini mulai dilirik oleh pihak
Polda Jawa Timur dan memeriksa 30 orang, baik dari kabupaten dan kota
(Panwaslu), terkait dugaan korupsi dana hibah yang diterima Bawaslu Jatim. Tapi
ini masih sebatas saksi-saksi, belum sampai penetapan tersangka.
Beberapa hari kemudian
peyidik Subdit III Tindak Pidana Korupsi,
Dirreskrimsus Polda Jawa Timur, menetapkan enam pejabat Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) tersangka kasus dugaan penyalahgunaan dana hibah Rp 142 miliar untuk
Pilgub Jawa Timur 2013 lalu. Keenam orang itu adalah Ketua Bawaslu Jawa Timur,
SF, AMR (Sekertaris Bawaslu Jatim), SSP dan AP (anggota Bawaslu Jatim), GSW
(Bendahara Bawaslu Jatim), serta IDY (rekanan penyedia barang dan jasa). Setelah
melalui proses penyelidikan dan pemeriksaan, ke enamnya tetapkan sebagai
tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah Pilgub Jatim 2013 lalu. Dari
enam pejabat Bawaslu yang ditetapkan tersangka, baru AMR yang diperiksa.
Setelah menjalani pemeriksaan, Sekertaris Bawaslu itu, langsung dimasukkan ke
tahanan Mapolda Jawa Timur.
Dari hasil penyelidikan
Polda Jawa Timur diketahui modus
penyalaggunaan dana hibah itu dilakukan dengan membuat kontrak fiktif pengadaan
barang dan jasa. "Kemudian merubah rencana anggaran biaya, tidak menyetor
sisa pembiayaan anggaran, dan tidak menyetorkan bunga bank. Penyidik mencontohkan
model penyalahgunaan dana Pilgub Jatim yang dilakukan Bawaslu, seperti
mengadakan kegiatan di hotel selama satu minggu. Tapi realisasinya hanya tiga
hari saja. "Kemudian pengadaan dua ribu unit spanduk, tapi realisasinya
hanya 800 unit saja. Dan dari hasil audit BPKP, akibat mark-up anggaran ini,
kerugian negara mencapai Rp 5,6 miliar.
Terbongkarnya kasus dugaan korupsi dana hibah ini sendiri, kata bermula dari laporan mantan pejabat di Sekertaris Bawaslu Jawa Timur, bidang pengadaan barang dan jasa, Samudji Hendrik Susilo. Dalam laporan itu, Samudji menyebut adanya penyalahgunaan dana hibah untuk Pilgub Jawa Timur 2013, yang total anggarannya senilai Rp 142 miliar. Dari total anggaran itu, 80 persennya digunakan untuk honor komisioner dan petugas pengawas lapangan (PPL) di 38 kabupaten dan kota. Namun, setelah Inspektorat Jawa Timur melakukan audit, ternyata ada sisa dana SILPA sebesar Rp 5 miliar, yang seharusnya dikembalikan. Tapi, saat dilakukan pemeriksaan di bulan September 2014 lalu, diketahui Bawaslu Jawa Timur, hanya menyetor Rp 2,4 miliar dari total Rp 5 miliar tersebut."Untuk sementara, dari hasil korupsi dana hibah ini, penyidik mengamankan uang negara senilai Rp 520 juta, sebagai barang bukti. Kemudian uang pengembalian THR Rp 7,5 juta, kwitansi fiktif, NPHD (naskah perjanjian hibah daerah), dan dokumen mark-up hingga dokumen kontrak fiktif.
Terbongkarnya kasus dugaan korupsi dana hibah ini sendiri, kata bermula dari laporan mantan pejabat di Sekertaris Bawaslu Jawa Timur, bidang pengadaan barang dan jasa, Samudji Hendrik Susilo. Dalam laporan itu, Samudji menyebut adanya penyalahgunaan dana hibah untuk Pilgub Jawa Timur 2013, yang total anggarannya senilai Rp 142 miliar. Dari total anggaran itu, 80 persennya digunakan untuk honor komisioner dan petugas pengawas lapangan (PPL) di 38 kabupaten dan kota. Namun, setelah Inspektorat Jawa Timur melakukan audit, ternyata ada sisa dana SILPA sebesar Rp 5 miliar, yang seharusnya dikembalikan. Tapi, saat dilakukan pemeriksaan di bulan September 2014 lalu, diketahui Bawaslu Jawa Timur, hanya menyetor Rp 2,4 miliar dari total Rp 5 miliar tersebut."Untuk sementara, dari hasil korupsi dana hibah ini, penyidik mengamankan uang negara senilai Rp 520 juta, sebagai barang bukti. Kemudian uang pengembalian THR Rp 7,5 juta, kwitansi fiktif, NPHD (naskah perjanjian hibah daerah), dan dokumen mark-up hingga dokumen kontrak fiktif.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Suap pada pemilihan kepala
daerah (Pilkada) langsung relatif sulit untuk dibuktikan sehingga kasusnya
sulit berlanjut lebih disebabkan karena masalah bukti dan pembuktian. Selain
alat bukti yang sulit didapat, saksi pun tidak dijamin keberadaannya, sehingga
proses peradilan suap pun sulit untuk dilaksanakan. Disamping itu, UU 32/2004
sebagai perangkat hukum yang mengatur masalah pilkada menciptakan aturan yang
membuka peluang suap, baik di tingkat partai politik ataupun pada setiap
tahapan Pilkada. Disamping itu, lemahnya pengaturan (tidak terperinci) masalah
suap di dalam UU 32/2004 menjadikan pelaku suap dapat dengan leluasa melakukan
kejahatan pidana pemilu ini.
B. Saran
Pengaturan untuk
pemilihan kepala daerah masih memerlukan banyak perbaikan dan penyesuaian
dengan undang-undang pemilu. Selain itu, penyelenggara pemilu perlu lebih aktif
dan inisiatif dalam melakukan pengawasan terhadap penyeleggaraan pilkada untuk
mencegah dan mengatasi politik uang. Mekanisme pencalonan yang juga memakan
biaya tinggi, perlu untuk diatur lebih tegas untuk dapat mengurangi biaya
politik oleh bakal calon kandidat. Partai politik juga perlu untuk melakukan
proses pencalonan dengan lebih demokratis dan terbuka, bukan dengan transaksi.
DAFTAR PUSTAKA
Halo, saya Margaret Spencer, pemberi pinjaman uang pribadi, apakah Anda berada di utang? Anda perlu dorongan keuangan? Saya telah terdaftar dan disetujui. Aku memberikan pinjaman kepada reputasi dan tingkat individu tersedia di bawah 2%. Aku memberikan pinjaman kepada lokal dan internasional untuk semua orang di pinjaman kebutuhan, dan dapat membayar kembali pinjaman, di seluruh dunia. Aku memberikan pinjaman melalui rekening mentransfer atau cek bank juga mendukung. Tidak perlu banyak dokumen. Jika Anda ingin mendapatkan pinjaman dari reputasi kami.
BalasHapusAnda dapat menghubungi kami melalui email: magretspencerloancompany@gmail.com