Sabtu, 09 Januari 2016

KASUS PENDAPATAN SEWA KONTRAK ATAS PENGELOLAAN JICT ANTARA PELINDO II DENGAN HPH

TUGAS TEORI AKUNTANSI
"PENDAPATAN"
"KASUS PENDAPATAN SEWA KONTRAK ATAS PENGELOLAAN JICT (Jakarta Internasional Container Terminal) ANTARA PELINDO II DENGAN HPH (Hutchinson Port Holding).

PENGANTAR
Pendapataan dapat didefenisi dari beberapa konsep. Dengan konsep aliran masuk pendapatan adalah kenaikan aset. Dari konsep aliran keluar, pendapatan adalah penyerahan produk yang diukur atas dasar penghargaan produk tersebut. Secara netral, pendapatan adalah produk perusahaan sebagai hasil dari upaya produktif. Pendapatan diukur dengan jumlah rupiah aset baru yang diterima dari pelanggan.
Dari defenisi diatas, dapat didaftar karakteristik-karakteristik atau kata-kata kunci dari membentuk pengertian pendapatan dan untung. Yang membentuk pengertian pendapatan adalah:
Aliran masuk atau kenaikan aset (inflows or other enhancements of assets,the amount of new assets received from costomers, flow of funds the customers, increases in economic benefits, gross increases in assets).
           1.   Kegiatan yang merepresentasi operasi utama atau sentral yang menerus (activities that constitute the entity’s ongoing major or central operations, in the course of the ordinary activities, producing goods,deliverings good, rendering servise, profit-directed activities).
           2.   Pelunasan, penurunan, atau pengurangan kewajiban ( settelments of liabilities, decreases in liabilities,gross decreases in liabilities).
           3.   Suatu entitas ( of an entity, of an enterprise).
           4.   Produk perusahaan ( goods an service, produck of the enterprise)
           5.   Pertukaran produk ( exchange of the product).
           6.   Menyandang beberapa nama atau mengambil beberapa bentuk (sales, fees, interest, dividends, royalties, and rents).
           7.   Mengakibatkan kenaikan ekuitas ( result in increases in equity, change owners equity).
Karakteristi (3) dan (8) sebenarnya merupakan penjabaran atau konsekuensi dari ketiga karakteristik sebelumnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa karakteristik (1) dan (2) merupakan karakteristik utama, sedangkan lainnya merupakan karakteristik konsenkuensi, pendukung atau penjelas. Untuk dapat mengatakan ada atau timbul, harus terjadi transaksi atau kejadian yang menaikan aset atau menimbulkan aliran masuk aset. Tidak semua kenaikan aset dapat menimbulkan pendapatan. Menuryu Paton dan Littelton (1970, Hal 47) bahwa aset dapat bertambah karena berbagai transaksi, kejadian, atau keadaan sebagai berikut:
       1.       Transaksi pendanaan yang berasal dari kreditor dan invesrtor.
       2.       Laba yang berasal dari kegiatan investasi, misalnya penjualan aset tetap, surat berharga, segmen bisnis, dan anak perusahaaan.
       3.       Hadiah, donasi, atau temuan.
       4.       Revaluasi aset yang telah ada.
       5.       Penyedian dan atau penyerhan produk barang dan jasa.
Hanya kegiatan (5) diatas yang masuk dalam kategori sumber pendapatan. FASB dan APB tidak memasukkan kegiatan (2) sebagai sumber pendapatan karena merupakan jumlah neto dan bukan merupakan kegiatan opersai sehingga mereka memasukkannya sebagai elemen untung (gains). Tidak semua kenaikan aset diatas membentuk pendapatan. Kegiatan utama atau sentral yang menerus atau berlanjur merupakan karakteristik yang membatasi kenaikan yan dapat disebut pendapatan. Kenaikan aset harus berasal dari kegiatan operasi dan bukan kegiatan investasi dan pendanaan. Kegiatan operasi ini diwujudkan dalam bentuk memproduksi dan mengirim berbagai brang kepada pelanggan atau menyerahkan atau melaksanakan berbagai jasa.
Pengertian operasi utama menunjukan kegiatan sebagaimana pengertian operasi dalam klasifikasi kegiatan yang membentuk statement aliran kas yaitu operasi (operating), investasi (investing), dan pendanaan (financing). Dengan demikian yang disebut pendapatan adalah kenaikan aset yang beroperasi uatama ini dan bukan dengan investasi dan pendanaan. Akan tetapi pendapatan atau untung yang tidak berasal dari operasi utama dengan sendirinya lalu dapat disebut sebagai pos nonoperasi. Produk yang dihasilkan secara tidak rutin atau insidental sering dianggap sebagai pos pendapatan “nonoperasi” dan dipisahkan penyajiannya. Pembedaan memang perlu tetapi mengklasifikasinya sebagai nonoperasi dapat menyesatkan daalam pengukuran kinerja atau daya melaba perusahaaan. Pendapatan tidak hanya didefenisi dari sudut kenaikan aset tetapi juga penurunan atau pelunasan kewajiban. Hal ini terjadi bila suatu entitas telah mengalami kenaikan aset sebelumnya, misalnya menerima pembayaran dimuka dari pelanggan. Penerimaan ini bukaan merupakan pendapatan karena perusahaan belum melakukan prestasi yang menimbulkan hak penuh atas aset yang diterima.
Pengakuan adalah pencatatan nilai rupiah secara resmi kedalam sistem akuntansi, sehingga jumlah tersebut terefleksi dalam statement keuangan. Pendapatan sebagai produk perusahaan tidak mengsyaratkan beberapa jumlahnya dan kapan harus dicatat, tetapi lebih mengsyaratkan bahwa pendapataan memang ada atau terwujud (to exist). Pengakuan pendapatan tidak boleh menyimpang dari landasan konseptual. Secara konseptual pendapatan hanya diakui kalau memenuhi kualitas kertukuran (measuralibility) dan keterandalan (reability).
Pembentukan pendapatan adalah suatu konsep yang berkaitan dengan masalah kapan dan bagaimana sesungguhnya pendapatan itu timbul atau menjadi ada. Apakah pendapatan itu timbul karena kegiatan produktif atau karena kejadian tertentu (misalnya penjualan). Sebelum penjualan terjadi, pendapatan dianggap sudah terbentuk seiring dengan berjalannya operasi perusahaan. Operasi perusahaan meliputi kegiatan produksi, penjualan, dan pengumpulan piutang.
Pendapatan diakui harus terialisasi dan terbentuk. Pendapatan terbentuk dengan terjadinya seluruh kegiatan perusahaan. Pendapatan terealisasi dengan adanya perubahan bentuk produk menjadi aset lain melalui transaksi pertukaran. Saat penjualan merupakan saat yang paling utama dan menjadi standar dalam pengakuan pendapatan karena pada saat itu pendapatan telah terbentuk dan terealisasi. Keberatan terhadap dasar penjualan dapat diatasi secara mudah dengan pencandangan kos purna-jual, potongan tunai, kembalian, dan kerugian piutang.
Pengakuan pada saat kontrak, atas dasar kemajuan produksi, pada saat produksi selesai, dan pada saat kas terkumpul merupakan penyimpangan dari pengakuan standar atas dasar penjualan. Pada saat kontrak, pendapatan tidak dapat diakui karena belum terjadi pembentukan pendapatan. Dengan konsep homogenitas kos serta upaya dan hasil, pendapatan dapat diakui atas dasar tingkat selesainya produksi bila perioda dipertahankan sebagai takaran pengukuran laba. Pengakuan semacam ini mungkin tidak perlu dilakukan bilamana takaran pengukuran laba adalah order atau kontrak pekerjaan. Pendapatan dapat diakui pada saat produk selesai bilamana syarat cukup pasti terealisasi dipenuhi.
  

Tentang Pelindo II
PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau disingkat Pelindo II adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang Jasa Kepelabuhanan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya adalah perairan dan terletak pada lokasi yang strategis karena berada di persilangan rute perdagangan dunia. Sehingga peran pelabuhan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi maupun mobilitas sosial dan perdagangan di wilayah ini sangat besar. Oleh karenanya pelabuhan menjadi faktor penting bagi pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian negara.

KASUS
Pendapatan sewa kontrak atas pengelolaan JICT( Jakarta Internasional Container Terminal)  antara pelindo ii dengan HPH (Hutchinson Port Holding). Dalam kontrak pertama, pelindo II berhak atas royalti sebesar 15% dari pendapatan. Sementara, HPH berhak atas technical knowhow sebesar 14,08% dikalikan laba setelah dikurangi pajak (laba bersih).
"Saat kontrak pertama, komposisi sahamnya, Pelindo II 48,9 persen, HPH 51 persen dan kopegmar (koperasi pegawai maritim) 0,1 persen," terang Sukur. Alih-alih menunggu masa kontrak habis, Dirut Pelindo II RJ Lino justru meneken perpanjangan kontrak HPH pada 2014. Padahal, kontraknya baru rampung pada 2019. Dalam kesepakatan baru yang dibuat Lino itu, Pansus mencurigakan beberapa hal. Pertama, kontrak kedua meniadakan sistem royalti menjadi sewa (rent) untuk Pelindo II senilai US$ 85 juta per tahun.
Kedua, jatah HPH atas technical knowhow 14,08% dari laba bersih dihapus. Ketiga, komposisi andil di JICT bergeser. Di mana Pelindo II berhak atas 51% saham dan HPH 49%.
"Selama ini, RJ Lino bilang sudah berhasil memberikan keuntungan kepada Pelindo II. Kita melihat justru sebaliknya. Malah  potensi kerugian lebih besar. Kita hitung adanya potensi kerugian negara dari kontrak kedua mencapai Rp 20 sampai Rp 30 triliun,"  kata Ketua DPP PDIP Bidang Pemuda dan Olahraga itu.
Kontrak final antara Pelindo II dan HPH sendiri ditandatangani pada tanggal 7 Juli 2015 yang telah dinotariatkan (komposisi saham Pelindo II sebesar 48,9% , Kopegmar 0,10%, HPH 51%). "Jadi rekomendasi BPK terkait audit perpanjangan kontrak JICT sesungguhnya sudah dijalankan oleh Pelindo II sejak awal," ujar RJ Lino dalam keterangan pers, Rabu (16/12/2015).
Sejalan dengan perubahan kepemilikan saham di JICT, Pelindo II sebagai pemegang saham mayoritas di JICT juga menikmati banyak keuntungan dari perpanjangan kontrak dengan HPH.
Misalnya, Pelindo II telah menerima pembayaran yang muka sebesar US$215 juta dari Hutchinson. Besaran uang sewa meningkat hingga US$85 juta sejak perjanjian efektif ditandatangani pada 6 Juli 2015.
Sebelumnya, pada Juni 2015, Pelindo II menagih pembayaran upfront fee ( uang muka ) dari HPH sebesar USD 215 juta. Menurut surat HPH dan Pelindo II, nilai USD 15 juta merupakan tambahan di luar perhitungan DB Deutsche Bank sebesar USD200 juta. Tambahan tersebut merupakan arahan Meneg BUMN,.Pembayaran dilakukan pada 02 Juli 2015 dan dikenai pajak ganda, yakni 15 persen With Holding Tax di Singapura, dan 10 persen PPN di Indonesia. Penandatanganan konsesi antara Pelindo II dengan Kementrian Perhubungan baru terjadi tanggal 11 November 2015. Lalu pada 06 Juli 2015 Pelindo II pun menerima pembayaran sewa. Padahal Perjanjian Konsesi baru dilakukan pada 11 November 2015. Sebelumnya, Pelindo II berpendapat, perjanjian konsesi itu tidak diperlukan.
Selain itu, perpanjangan kontrak JICT antara Pelindo II dan HPH diakui oleh Meneg BUMN dalam pansus memang tidak ada dalam RKAP Pelindo II dan tidak ada dalam RUPS. Ini berarti tidak sesuai perintah dengan UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 22 dan Kepmen BUMN Nomor KEP-101/MBU/2002 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan BUMN. Bahkan Meneg BUMN Rini Soemarno dalam rapat pansus, dengan di bawah sumpah mengatakan bahwa kegiatan bisnis yang dijalankan BUMN tidak harus selalu ada dalam RKAP, apalagi menyangkut investasi asing.
Secara ekonomi, ditemukan hal yang tidak layak. Menurut perjanjian kontrak 1999-2019, memang ada tehcnical know how, tetapi di lapangan tidak ditemukan kenyataan adanya keterampilan atau teknologi yang dialihkan. Yang terjadi adalah pengubahan pendapatan menjadi biaya yang ditransfer ke perusahaan yang sama sekali tidak kompeten di bidang jasa pengelolaan kepelabuhanan. Indikasi tindak pidana perpajakan ini dibiarkan berlangsung karena lemahnya daya tawar Pemerintah Indonesia terhadap investor asing. Saat yang sama perpanjangan kontrak sebelum jatuh tempo justru merugikan Negara sebagaimana temuan BPK, kendati BPK hanya menyatakan sebagai pendapatan yang belum optimal. Pansus mencatat bahwa laporan BPK per 1 Desember 2015 itu masih berdasarkan PDTT yang diminta Pelindo II. Sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu sesuai dengan TOR yang diajukan Pansus yang belum masuk. Untuk pelaksanaan kontrak 2015 hingga 2038, Pansus menemukan adanya potensi kerugian negara yang relatif besar.
FRI dan Bahana Sekuritas, dua lembaga penasihat keuangan yang sebelumnya dikontrak oleh Pelindo II, dalam sebuah tim gabungan melakukan kembali analisa terkait valuasi yang dilakukan Deutsche Bank (DB). Tim gabungan tersebut menggunakan dokumen laporan keuangan JICT (1999-2013) dan proyeksi keuangan JICT yang diberikan DB (2014-2038). Berdasarkan analisis ulang, ditemukan oleh tim tersebut hal sebagai berikut:
Merujuk Asumsi Historis:
Manfaat bagi Pelindo II untuk sisa masa kontrak (2015-2018) adalah Rp2,99 triliun jika kontrak diperpanjang , tetapi  akan kehilangan potensi pendapatan 2019-2038 sebesar Rp24,7 triliun dikali dengan 49% (saham HPH) jadi Rp.11,85 triliun. (Asumsi kurs sebesar Rp.13.600).
Merujuk Proyeksi DB:
Manfaat bagi Pelindo II Rp36,5 triliun lebih besar jika mengoperasikan sendiri JICT dibandingkan dengan memperpanjang kontrak dengan HPH. Akibat perpanjangan kontrak maka potensi kehilangan penghasilan Pelindo II adalah Rp.36,5 triliun dikali 49% adalah sebesar Rp17,9 triliun (Asumsi kurs sebesar Rp. 13.600).

Dampak Kasus
Secara ekonomi ditemukan hal yang tidak layak, jika kontrak Pelindo II dan HPH diperpanjang berpotensi akan kehilangan pendapatan dan merugikan Negara.   

PEMBAHASAN DENGAN PSAK YANG TERKAIT
1.    PSAK 23 (Pendapatan)
PSAK 23 mengatur tentang dasar pengakuan pendapatan yang timbul dari
a.       Penjualan barang
b.      Penjualan jasa
c.       Penggunaan asset perusahaan oleh pihak-pihak lain yang menghasilkan bunga, royalty, dan deviden.
Dari ketiga dasar pengakuan pendapatan tersebut dalam kasus ini termasuk pendapatan dari hasil royalti. Dimana Pelindo II mandapatkan royalti dari HPH sebesar 15% dalam pengelolaan JICT.
Berdasarkan kasus dalam kontrak pertama Pelindo II atas royalty sebesar 15% dari pendapatan sementara dimana jumlah sahamnya sebesar 48,9%.
Menurut PSAK 23 menyatakan bahwa royalti harus diakui atas dasar akrual sesuai dengan substansi perjanjian yang relevan ( Paragraf 29a) apabila :
a)      Besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan diperoleh perusahaan dan
b)      Jumlah pendapatan dapat diukur dengan handal

Ilustrasi
Diasumsikan jika suatu perjanjian royalti menyatakan bahwa pemilik paten harus dibayar sebesar 15% untuk setiap unit barang yang diproduksi oleh pembeli paten, maka selama dan pada saat pembeli paten memproduksi barang itu, pemilik paten harus mengakui pendapatan yang timbul (dengan asumsi dua syarat lainnya terpenuhi). Namun, jika royalti itu dapat dibayar hanya pada penjualan akhir barang tersebut, maka pemilik paten harus harus mengakui pendapatan hanya pada saat penjualan barang oleh pembeli paten (dengan asumsi dua syarat lainnya terpenuhi).


Ø  Menurut Suwardjono (2014: 393)
Pada saat kontrak, pendapatan tidak dapat diakui karena belum terjadi pembentukan pendapatan. Dengan konsep homogenitas kos serta upaya dan hasil, pendapatan dapat diakui atas dasar tingkat selesainya produksi bila perioda dipertahankan sebagai takaran pengukuran laba.
2.    PSAK 34 ( Kontrak Konstruksi )
Menjelaskan tentang kontrak konstruksi jangka panjang, yaitu kontrak konstruksi yang tanggal saat aktivitas kontrak mulai dilakukan dan saat aktivitas tersebut dilaksanakan jatuh pada periode akuntansi yang berlainan. Oleh karena itu, kontrak konstruksi membutuhkan waktu penyelesaian selama beberapa tahun, persoalan dalam kontrak konstruksi adalah bagaimana pendapatan dan biaya yang muncul dari kontrak tersebut harus diakui dan apakah pendapatan dan biaya harus diakui hanya pada waktu penyelesaian ( metode penyelesaian kontrak ) atau pada setiap periode akuntansi dilaksanakannya aktivitas konstruksi.
Jika kontrak konstruksi tidak dapat diestimasi secara andal pendapatan kontrak harus diakui hanya sebatas biaya kontrak yang timbul dan kemungkinan akan dipulihkan (paragraf 31).
Manfaat bagi Pelindo II untuk sisa masa kontrak (2015-2018) adalah Rp2,99 triliun jika kontrak diperpanjang , tetapi  akan kehilangan potensi pendapatan 2019-2038 sebesar Rp24,7 triliun dikali dengan 49% (saham HPH) jadi Rp.11,85 triliun. (Asumsi kurs sebesar Rp.13.600).
Berhubungan dengan contoh Pelindo II diasumsikan bahwa diakhir tahun 2018 setelah timbul jumlah biaya 12 triliun, diestimasi membutuhkan biaya tambahan Rp 20 triliun (bukan Rp10 triliun) untuk menyelesaikan kontrak.

 Dalam contoh ini nilai kontrak sebesar Rp20,15 triliun dan jumlah biaya kontrak diperkirakan Rp15 triliun (Rp12 triliun + Rp20 triliun) , rugi Rp11,85 triliun diperkirakan timbul pada saat penyelesaian kontrak.
Sesuai dengan persyaratan PSAK 34 keseluruhan kerugian sebesar Rp11,85 triliun harus ditambahkan untuk tahun 2018, tanpa memandang fakta bahwa diakhir tahun 2018 kontrak tersebut baru 60 % selesai (Rp 12 triliun/Rp32 triliun).
Ayat jurnal untuk mencatat laba/rugi kontrak konstruksi diakhir tahun 2018 adalah sebagai berikut.
Dr. Biaya konstruksi                           Rp20 triliun
Cr. Pendapatan konstruksi                                          Rp 8 triliun
Cr. Konstruksi dalam proses                                       Rp 12 triliun
Dapat dilihat bahwa karena PSAK 34 mensyaratkan keseluruhan kerugian agar disediakan meskipun kontrak baru 60% selesai 40% lainnya dari rugi sebesar Rp4,740 triliun (40% x 11,85) harus disediakan. Dalam ayat jurnal diatas, kerugian tambahan ditambahkan ke biaya konstruksi sehingga keseluruhan kerugian sebesar 11,85 diperhitungkan.


DAFTAR PUSTAKA
Suwardjono.”Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan ”. Edisi Ketiga: BPFE-Yogyakarta, 2014.


Wahyuni Ersa Tri, dan Juan Ng Eng.”Panduan Praktis Standar Akuntansi Keuangan berbasis IFRS”.Edisi kedua: Salemba Empat, 2012.

PENGUNGKAPAN DAN SARANA INTERPRETIF

PENGUNGKAPAN DAN SARANA INTERPRETIF
Pengungkapan
Secara konseptual, pengungkapan merupakan bagian integral dari pelaporan keuangan. Secara teknis, pengungkapan merupakan langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk seperangkat penuh statemen keuangan. Evans (2003) mengartikan pengungkapan sebagai berikut:
Diclosure means supplying information in the financial statements, including the statements themselves, the notes to the statements, and the supplementarydisclosures associated with the statements. It does not extend to public or private statements by management on information provided outside the financial statements.
Secara lebih spesifik, wolk, tearney, dan Dodd (2001) menginterpretasi pengertian pengungkapan sebagai berikut:
Broadly interpreted, disclosure is concerned with information in both the financial statements and supplementary communications including footnotes, post statement events, management’s discussion and analysis of operations for the fortcoming year, financial and operating forecast, and additional financial statements covering segmental disclosure and extentions beyond historical cost
Evans membatasi pengertian pengungkapan hanya pada hal-hal yang menyangkut pelaporan keuangan. Pernyataan manajemen dalam surat atau media massa lain serta informasi di luar lingkup pelaporan keuangan tidak masuk dalam pengertian pengungkapan. Sementara itu, Wolk, Tearney, dan Dodd memasukkan pula statemen keuangan segmental dan statemen yang merefleksi perubahan harga sebagai bagian dari pengungkapan.
Pengungkapan juga sering dimaknai sebagai penyediaan informasi lebih dari apa yang dapat disampaikan dalam bentuk statemen keuangan formal. Hal ini tampaknya sejalan dengan gagasan FASB dalam rerangka konseptualnya sebagai berikut:
Although financial reporting and financial statements have essentially the same objectives, some useful information is better provided by financial statements and some is better provided, or can only be provided, by meansof financial reporting other than financial statements.
Masalah teoritis pengungkapan dapat dinyatakan dalam bentuk pertanyaan berikut ini:
1.      Untuk siapa informasi diungkapkan?
2.      Mengapa pengungkapan harus dilakukan?
3.      Seberapa banyak dan informasi apa harus diungkapkan?
4.      Bagaimana cara dan kapan mengungkapkan informasi?

A.    Siapa Dituju
Rerangka konseptual telah menetapkan bahwa investor dan merupakan pihak yang dituju oleh pelaporan keuangan sehingga pengungkapan ditujukan terutama untuk mereka. FASB misalnya menetapkan tingkat kecanggihan para investor dan kreditor cukup tinggi sehingga pengungkapan yang diwajibkan dapat dikatakan lebih sedikit dibanding yang dituntut oleh SEC karena SEC mempertimbangkan pula kepentingan investor yang naïf. SEC menuntut lebih banyak pengungkapan karena pelaporan keuangan mempunyai aspek sosial dan public (public interest). Oleh karena itu, pengungkapan menuntut lebih dari sekadar pelaporan keuangan tetapi meliputi pula penyampaian informasi kualitatif atau non kuantitatif. Karena pihak yang dituju lebih luas dan model pengambilan keputusannya kurang dapat didentifikasi, pengungkapan cenderung untuk meluas dan jarang menjadi sempit (spesifik).

B.     Fungsi atau Tujuan Pengungkapan
Secara umum, tujuan pengungkapan adalah menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan dan untuk melayani berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda-beda.
1.      Tujuan melindungi
Tujuan melindungi dilandasi oleh gagasan bahwa tidak semua pemakai cukup canggih sehingga pemakai yang naïf perlu dilindungi dengan mengungkapkan informasi yang mereka tidak mungkin memperolehnya atau tidak mungkin mengolah informasi untuk menangkap substansi ekonomik yang melandasi suatu pos statemen keuangan. Dengan kata lain pengungkapan dimaksudkan untuk melindungi perlakuan manajemen yang kurang adil dan terbuka. Dengan tujuan ini, tingkat atau volume pengungkapan akan menjadi tinggi.
Tujuan melindungi biasanya menjadi pertimbangan badan pengawas yang mendapat autoritas untuk melakukan pengawasan terhadap pasar modal seperti SEC atau Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Hal ini dapat dipahami karena mereka bertindak demi kepentingan publik.
2.      Tujuan Informatif
Tujuan informatif dilandasi oleh gagasan bahwa pemakai yang dituju sudah jelas dengan tingkat kecanggihan tertentu. Dengan demikian, pengungkapan diarahkan untuk menyediakan informasi yang dapat membantu keefektifan pengambilan keputusan pemakai tersebut. Tujuan ini biasanya melandasi penyusunan standarakuntansi untuk menentukan tingkat pengungkapan. Dalam kenyataannya, badan pengawas seperti BAPEPAM bekerjasama dengan penyusun standar (profesi) untuk menentuka keluasan pengungkapan. Untuk tujuan pengawasan oleh baankepemerintahan, terdapat pula pengungkapan yang khusus ditujukan kepada badan pengawas melalui formulir-formulir yang harus diisi oelh perusahaan pada waktu menyerahkan laporan tahunan maupun kuartalan.
3.      Tujuan Kebutuhan Khusus
Tujuan ini merupakan gabungan dari tujuan perlindungan publik dan tujuan informatif. Apa yang harus diungkapkan kepada publik dibatasi dengan apa yang dipandang bermanfaat bagi pemakai yang dituju sementara untuk tujuan pengawasan, informasi tertentu harus disampaikan kepada pangawas berdasarkan peraturan melalui formulir-formulir yang menuntut pengungkapan secara rinci.



C.    Keluasan dan Kerincian Pengungkapan
Hal ini berkaitan dengan masalah seberapa banyak informasi harus diungkapkan yang disebut dengan tingkat pengungkapan (levels of disclosure). Evans (2003) mengidentifikais tiga tingkat pengungkapan yaitu memadai (adequate disclosure), wajar atau etis (fair or ethical disclosure), dan penuh (full disclosure). Tingkat ini mempunyai impikasi terhadap apa yang harus diungkapkan.
Tingkat memadai adalah tingkat minimum yang harus dipenuhi agar statemen keuangan secara keseluruhan tidak menyesatkan untuk kepentingan pengambilan keputusan yang diarah. Tingkat wajar adalah tingkat yang harus dicapai agar semua pihak mendapat perlakuan atau pelayanan informasional yang sama. Artinya, tidak ada satu pihak pun yang kurang mendapat informasi sehingga mereka menjadi pihak yang kurang diuntungkan posisinya. Dengan kata lain, tidak ada preferensi dalam pengungkapan informasi. Tingkat penuh menuntut penyajian secara penuh semua informasi yang berpaut dengan pengambilan keputusan yang diarah.
Tingkat pengungkapan yang tepat memang harus ditentukan karena terlalu banyak informasi sama tidak menguntungkannya dengan terlalu sedikit informasi. Oleh karena itu, diperlukan criteria atau pertimbangan untuk menentukan dan batas atas dan batas bawah. Batas atas (kos>benefit) dan batas bawah (materialitas) dalam karakteristik kualitatif informasi untuk pengakuan suatu pos dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan banyaknya informasi. Dalam hal pengungkapan , batas atas (tingkat penuh) lebih banyak menimbulkan kontroversi dibandingkan dengan batas bawah. Artinya bagi penentu kebijakan, menentukan seberapa luas pengungkapan harus dilakukan lebih problematik disbanding menentukan informasi mana yang tiak perlu diungkapkan.
Kendala Pengungkapan
Berbagi hal menjadi pertimbangan penyusun standar atau badan pengawas untuk menentukan seberapa banyak informasi harus diungkapkan. Salah satu hal yang menentuka keluasan dan kerincan pengungkapan adalah tujuan pegungkapan. Tujuan perlindungan atau protektif biasanya menuntut pengungkapan yang lebih luas dan lebih rinci. Pengungkapan yang lebih luas biasanya terkendala oleh keengganan perusahaan untuk menyediakan informasi.
Kos penyediaan informasi harus lebih rinci dari benefit informasi yang disediakan. Kendala kriteria ini adalah kesulitan menentukan manfaat informasi meskipun sampai tingkat tertentu kos dapat diukur dengan cukup teliti bahkan dalam hal tertentu kos tersebut sangat tidak berarti (mendekati nol). Oleh karena itu, kriteria ini akhirnya tidak pernah menjadi pertimbangan.
Bila kos penyediaan suatu informasi dapat diabaikan, persoalannya adalah  perlukah informasi tersebut diungkapkan. Dalam hal seperti ini, keberlebihan informasi harus menjadi pertimbangan. Betapapun kos penyediaan informasi dapat diabaikan dari segi administratif, infirmasi tertentu sangat berharga bagi perusahaan dalam kondisi persaingan. Pengungkapan informasi dapat menempatkan perusahaan pada posisi yang kurang menguntungkan disbanding pesaing dan hal inilah yang menjadi kos pengungkapan bagi perusahaan sehingga perusahaan enggan untuk mengungkapkan informasi privatnya. Penyusun standar perlu mempertimbangkan hal ini dalam menetapkan tingkat pengungkapan.
Bagi penyusun standard, pengungkapan wajib harus dipertimbangkan atau dasar apakah informasi yang sama sebenarnya dapat diperoleh pemakai dari sumber selain yang disediakn melalui pelaporan keuangan atau laporan tahunan. Sumber lain ini dalam hal tertentu justru lebih efektif daripada informasi yang disediakan perusahaan.
Pengungkapan Wajib dan Sukarela
Pengungkapan sukarela adalah pengungkpan yang dilakukan perusahaan di luar apa yang iwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan badan pengawas. Teori pensignalan melandasi pengungkapan sukarela ini. Manajemen selalu berusaha untuk mengungkapkan informasi privat yang menurut pertimbangannya sangat diminati oleh investor dan pemegang saham khususnya kalau informasi tersebut merupakan berita baik (good news). Manajemen juga berminat menyampaikan informasi yang dapat meningkatkan kredibilitasnya dan kesuksesan perusahaan meskipun informasi tersebut tidak diwajibkan. Beberapa penelitian akademik juga menunjukkan bahwa makin besar perusahaan makin banyak pengungkapan sekarela yang disampaikan. Pengungkapan sukarela ini merupakan solusi atas kendala pengungkapan secar penuh. Dengan keterseiaan manajemen dalam pengungkapan sukarela ini, tingkat pengungkapan wajib yang dapat ditetapkan iarhkan ke tingkat wajar atau bahkan memadai tidak perlu penuh.

D.    Regulasi Pengungkapan
Mempercayakan pengungkapan sepenuhnya kepada manajemen sama saja dengan menyerahkan penyediaan informasi kepada pasar. Beberapa argumen mendukung perlunya regulasi dalam penyediaan informasi. Alasan tersebut adalah:
1.      Penyalahgunaan (abuse);
2.      Eksternalitas (externalities)
3.      Asimetri informasi (information asymmetry)
4.      Keengganan Manajemen (management reluctance)
Semua regulasi diarahkan untuk mencegah adanya penyalahgunaan dan kecurangan oleh para pelaku pasar modal terutama dalam masalah pengungkapan.

E.     Apa yang Diungkap
            Penyusun standar dan badan pengawas seperti SEC atau BAPEPAM mengeluarka ketentuan tentang apa yang harus diungkapkan. SEC mewajibkan perusahaan publik untuk menyusun dua laporan tahunan. Satu laporan tahunan harus diserahkan ke SEC untuk memenuhi ketentuan dalam Securities Exchange Act 1934 dan datu laporan tahunan harus disusun untuk keperluan pemegang saham dan pihak eksternal lainnya. Peraturan SEC yang berkaitan dengan pelaporan dan pengungkapan antara lain adalah:
1.      Securities Exchange Act 1934 yang harus dipenuhi dengan mengisi Form 10-K.Formulir ini berisi jenis-jenis informasi apa yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan dalam rangka pelaporan ke SEC. Untuk laporan kuartalan, perusahaan harus menggunakan Form 10-Q.
2.      Regulation  S-X yang berisi ketentuan tentang format, isi, dan persyaratan statemen keuangan. Peraturan ini juga merupakan aturan pelaksanaan Securities Act 1933 dalam rangka registrasi. Denga peraturan ini, perusahaan harus mengisi Form S-1.
3.      Regulation S-K yang memuat ketentuan tentang pengungkapan statemen nonfinansial. Ketentuan ini sifatnya sama seperti Regulation S-X yaitu aturan pelaksanaan Securities Act 1933.
Berbagai Proposal
William mengusulkan suatu model pegungkapan yang disebut model pelaporan alternatif lima lapis (a-five layers alternative repoting models) yaitu:
Lapis pertama: pos-pos yang memenuhi kriteria pengakuan yang sama dengan model yang sekarang berlaku (models statement keuangan sebagai ciri sentral)
Lapis kedua: pos-pos yang memenuhi kriteria pengakuan tetapi bermasalah dalam hal reliabilitas pengukuran seperti nilai merek dagang.
Lapis ketiga: pos-pos yang tidak begitu memenuhi kriteria reliabilitas dan definisi seperti misalnya kepuan kesan konsumen.
Lapis keempat: pos-pos yang memenuhi kriteria pengukuran, keterandalan, dan keberpautan tetapi tidak memenuhi definisi elemen seperti angka sensitifitas-risiko.
Lapis kelima: pos-pos yang tidak memenuhi definsi elemen dan juga tidak dapat diukur secara terandalkan seperti kapital intelektual karyawan.
Model tersebut sebenarnya merupakan penjabaran pengakuan model FASB. Juga, model tersebut lebih merupakan kriteria pengungkapan atau penyajian daripaa apa yang harus diungkapkan. Uraian mengenai apa yang harus diungkapkan menunjukkan bahwa masalah pengungkapan belum terjawab secara tuntas dan lingkup pengungkapan masih harus dikembangkan baik yang wajib maupun yang sukarela. Walaupun demikian, model pengungkapan FASB dalam rerangka konspetualnya sudah dapat dipandang cukup komprehensif dan mantap.

F.     Metode Pengungkapan
Metode pengungkapan berkaitan dengan masalah bagaimana secar teknis informasi disajikan kepada pamakai dalam satu perangkat statemen keuangan beserta informasi lain yang berpaut. Metode ini biasanya ditentukan secar spesifik dalam standard akuntansi atau peraturan lain. Informasi dapat disajikan dalam pelaporan keuangan sebagai antara lain pos statemen keuangan, catatan kaki (catatan atas laporan keuangan), pengggunaan istilah teknis (terminologi), penjelasan dalam kurung, lampiran, penjelasan auditor dalam laporan auditor, dan komunikasi manajemen dalam bentuk surat atau pernyataan resmi.

Sarana Interpretif
Pengungkapan dapat dikatakan sebagai saran interpretif untuk menambah kebermanfaatan dan keterpautan informasi akuntansi yang disajikan melalui media statemen keuangan. Dalam tataran praktis, tentu saja harus terdapat rerangka atau struktur akuntansi pokok (basic accounting structure) atau pelaporan keuangan pokok (financial reporting proper) yang membatasi pengungkapan sesuai denga tujuan pelaporan keuangan. Tanpa rerangka pokok tersebut akan banyak hal yang akan dituntu untuk diungkapkan, dilampirkan, atau dimasukkan dalam pelaporan keuangan karena pada tataran teoritis banyak sarana interpretif yang mempunyai potensi untuk bermanfaat atau berpaut dengan keputusan investor dan kreditor. Pelaporan keuangan pokok adalah pelaporan yang langsung ditentukan oleh standar akuntansi atas dasar pertimbangan keterandalan (realibility) dan keberpautan (relevans). Rerangka pokok tersebut juga diperlukan untuk membatasi tanggungjawab auditor dalam menetapkan kewajaran statemen keuangan.
Sarana interpretif tidak hanya ditujukan dalam pelaporan keuangan eksternal tetapi juga dalam pelaporan internal atau manajerial. Sarana interpretif dalam pelaporan internal misalnya adalah penggunaan kos standar, pengkosan variabel (variable costing), departementalisasi pendapatan (revenue imputation), dan pengkosan berbasis kegiatan (activity based costing).

A.    Kos dan Nilai
Dalam kondisi yang normal kos yang terjadi dapat dianggap menyatakan nilai pasar (market value) suatu sumber ekonomi pada saat tia dibeli atau diperoleh. Nilai adalah persepsi orang terhadap manfaat atau utilitas suatu objek yang dinyatakan dalam satuan pengukur (biasanya unit moneter).
Argumen Pendukung
Argumen utama pendukung gagasan tersebut adalah keterpautan keputusan sebagai salah satu kualitas informasi baiknuntuk kepentingan manajemen maupun pihak luar. Untuk kepentingan manajemen, perhitungan laba tiap periode hendaknya mencerminkan dengan jelas perubahan ekonomik penting termasuk rugi (losses) dan untung (gains) yang belum terealisasi yang terjai akibat penurunan dan kenaikan nilai faktor-faktor yang maish belum digunakan.
Argumen Penyanggah
Paton dan Littleton (1970) berpendapat bahwa adanya perubahan nilai tidak berarti bahwa rerangkan akuntansi pokok berbasis kos tidak lagi bermanfaat sehingga harus diganti. Tujuan utama akuntansi adalah pengukuran laba periodic dengan menggunakan proses menandingkan kos dan pendapatan secara sistematik. Penggantian jumlah rupiah tercatat (kos) faktor-faktor jasa dengan taksiran nilai pasar yang berlaku sekarang tidak dapat didukung atas dasar argumen-argumen berikut ini:
1.      Keterandalan data;
2.      Saling kompensasi antarperiode;
3.      Fluktuasi nilai merupakan gejala umum;
4.      Nilai pasar dan posisi keuangan.
Simpulan
Penekanan pada kos historis atau aktual sebagai dasar pencatatan tidak berarti menolak sama sekali adanay kelayakan dan manfaat untuk mengadakan reorganisasi modal (financial reorganization) dan untuk menyesuaikan kembali asset, kewajiban, dan ekuitas bilamana hal ini memang jelas-jelas diperlukan khususnya dalam kejadian yang bersifat istimewa. Revisi ini hendaknya dilakukan dengan cara yang cukup bijaksana sehingga tidak berakibat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan.


B.     Revisi Kos Fasilitas Fisis
Dalam beberapa hal khusus, penilaian kembali fasilitas fisis yang berakibat revisi terhadap kos tercatat tidak dapat dihindari. Penilaian kembali biasanya dilakukan oleh perusahaan penilai (appraisal companies). Beberapa hal khusus yang menghendaki penilaian kembali antara lain adalah:
1.      Perusahaan akn dibeli sehingga terjadi penggantian hak milik atau perubahan entitas yang menghendaki pencatatan asset pada pada nilai perusahaan baru berdiri (fresh start).
2.      Kuarsi reorganisasi untuk penyerahan defisit.
3.      Penggadaian asset yang menghendaki penialian untuk menentukan nilai gadai.
4.      Peraturan pemerintah yang mengharuskan revaluasi.
5.      Terjadinya musibah yang menghendaki penilaian untuk keperluan ganti rugi asuransi.
6.      Penilaian asset untuk keperluan penentuan nilai asuransi asset (insurance coverage).
7.      Penentuan nilai asset untuk keperluan penetapan pajak.
Alasan Pendukung Revisi
Alasan yang mendukung revisi kos asset tetap secara umum bersandarkan pada alasan yang dikemukakan dalam akuntansi berbasis nilai. Berikut adalah beberapa alasan yang sering digunakan untuk mendukung revisi yaitu:
1.      Distorsi informasi ekonomik
2.      Distorsi akumulasi dana penggantian
Argumen Penyanggah
Argumen memang dapat dimaklumi, akan tetapi tidak berarti bahwa revisi kos menjadi akternatif pemecahan yang paling tepat. Dari segi akuntansi sendiri, kos sekarang atau pengganti sebagai bagian rerangka akuntansi pokok mempunyai beberapa kelemahan dan keterbatasan. Seperti argumen penyanggah revisi kos secara umum, Paton dan Littleton member argumen untuk menolak revisi kos historis fasilitas fisis.
1.      Revisi terus menerus tidak praktis
Penilaian yang dilakukan terus menerus adalah pekerjaan yang mahal dan hanya dapat diterima kalau manfaat yang diperoleh jelas-jelas menjustifikasi kos pencatatan revisi.
2.      Hasil penilaian tidak meyakinkan
Nilai pengganti fasilitas fisis yang kompleks akhirnya tidak lebih daripada taksiran, dan taksiran tersebut dalam banyak hal tidak dapat diandalkan. Pendekatan umum yang digunakan untuk menentukan nilai pengganti adalah menghitung jumlah rupiah pembelian atau kos sekarang seandainya perusahaan membeli fasilitas fisis yang sama. Hal ini dapat dilakukan kalau tedapat barang yang sama dipasar umum. Pendekatan lain adalah menghitung jumlah rupiah proses konstruksi hipotesis untuk jenis fasilitas yang sama fungsinya.
3.      Depresiasi bukan akumulasi dana
Depresiasi harus didasarkan atas nilai pengganti untuk menjamin pengumpulan dana yang cukup untuk mengganti fasilitas fisis pada saat umurnya habis juga menimbulkan pertanyaan yang serius. Tujuan utama akuntansi depresiasi adalah membebankan kos ke produksi dan ke pendapatan secara layak.
Simpulan
Akuntansi fasilitas fisis atau asset tetap berwujud atas dasar kos mempunyai keunggulan dibandingkan dengan alternatif yang lain (misalnya akuntansi nilai pengganti) bilaman ditinjau dari kebutuhan dan kondisi-kondisi perusahaan pada umumnya. Bersamaan dengan itu, kalau keadaan tertentu memang mengharuskan adanya revisi kos fasilitas fisis maka kos revision atau pengganti dapat diakui alam buku besar secara terpisah dengan buku besar kos aktual sehingga data kos historis tidak menjadi hilang atau tersembunyi. Statemen keuangan atas dasar kos pengganti harus diperlakukan sebagai pelengkap terhadap statemen keuangan berbasis kos aktual. Jadi kos historis harus tetap merupakan bagian dari rerangka akuntansi pokok.


C.    Pengurangan Nilai Buku Fasilitas Fisis
Pengurangan dapat dilakukan kalau suatu kondisi menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan asset untuk mendatangkan lab atau kas dimasa datang. Kondisi yang dapat menimbulkan penurunan kemampuan asset misalnya saja kalau telah menjadi jelas bahwa jasa efektif suatu fasilitas fisis menjadi tidak mamadai lagi karena timbul teknologi baru yang tidak terduga sebelumnya atau karena faktor khusus lainnya sehingga depresiasi akumulasi sampai saat itu menjadi terlalu kecil.
Indikasi penurunan kemampuan
PSAK No.48 memberikan pedoman untuk mengidentifikasi adanya penurunan kemampuan suatu asset. Secara teknis, suatu asset dikatakan mengalami penurunan kemampuan bilamana nilai tercatat (nilai buku) asset melebihi apa yang disebut jumlah rupiah atau jumlah terperoleh kembali. Jumlah terperoleh kembali dapat diukur atas dasar harga jual neto asset atau atas dasar nilai pakai yaitu nilai sekarang  aliran-aliran kas yang dikontribusi  oleh pemakaian asset bersangutan termasuk nlai residual pada saat penghentian penggunaan.jumlah temperoleh kembali yang digunakan untuk mengukur adanya penurunan kemampuan biasanya adalah yang terendah antara nilai jual neto dan nilai pakai.
Pengangguran sementara
Kalau fasilitas fisis tertentu tidak digunakan karena alasan musim atau lainnya mak pengangguran sementara ini ini tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan pengurangan besar kos asset. Demikian juga pengurangan intensitas pengggunaan sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk pengurangan kos menjadi rugi.

D.    Konversi Kos ke Rupiah Daya Beli
Sering Karena daya beli dianggap stabil, rerangka akuntansi pokok atas dasar kos histori sering disangkal manfaatnya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa satuan uang sebagai pengukur bahan oleh akuntansi tidak stabil daya belinya. Artinya, kos tercatat yang merupakan jumlah rupiah kesepakatan akan berbeda dalam dua titik waktu yang berbeda kalau dinyatakan dalam tingkat harga umum yang berlaku pada dua waktu tersebut. Sebagai konsekuensi, kos historis yang diukur dengan daya beli pada saat tertentu dapat menyesatkan. Demikian juga, dalm kondisi tertentu laba atau rugi yang dihasilkan oleh rerangka akuntansi pokok tidak menggambarkan perubahan nilai ekonomik perusahaan yang sesungguhnya.


  
DAFTAR PUSTAKA

Suwardjono. 2005. TEORI AKUNTANSI Perekayasaan Pelaporan Keuangan Edisi Ketiga.