Studi
Kasus PT.Freeport
Kebobrokan
Freeport Pencemaran Lingkungan & Pelanggaran HAM Perusahaan Emas Terbesar di Indonesia
Deskripsi Kasus
PT Freeport Indonesia,
adalah potret nyata sektor pertambangan Indonesia.Keuntungan ekonomi yang
dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan
masyarakat di sekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan menuai protes
akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM , dampak lingkungan serta pemiskinan
rakyat sekitar tambang.
Aktivitas pertambangan PT Freeport
McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat
ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi
Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan
asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan
masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Dari
tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan
tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas,
tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan
tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan
kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam,
tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk
Papua.Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah
Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai
melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar
penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau
delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
Kesalahan
yang dilakukan PT.Freeport,yaitu :
•
Telah lalai dalam pengelolaan limbah batuan, bertanggung jawab atas longsor
berulang pada limbah batuan Danau Wanagon yang berujung pada kecelakaan fatal
dan keluarnya limbah beracun yang tak terkendali (2000).
•
Hendaknya membangun bendungan penampungan tailing yang sesuai standar teknis
legal untuk bendungan, bukan yang sesuai dengan sistem sekarang yang
menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat (2001).
•
Mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai pemerintah setempat untuk
menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan tailing. Perusahaan
diminta untuk membangun pipa tailing ke dataran rendah (2001, 2006).
•
Mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, dengan demikian melanggar
standar baku mutu air (2004, 2006).
•
Membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah
berbahaya, sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah cair industri,
dan gagal membangun pos-pos pemantauan seperti yang telah diperintahkan (2006).
Pelanggaran
dan pencemaran lingkungan:
•
Tembaga yang dihamburkan dan pencemaran: Freeport dengan alasan
mendapatkan biji tembaga mentah secepat mungkin, pengerukan dan pembuangan
dilakukan tanpa pengolahan yang bersifat penghamburan tembaga dan pencemaran
lingkungan. Lebih dari 3 miliar ton tailing dan lebih dari empat miliar ton
limbah batuan akan dihasilkan dari operasi PTFI sampai penutupan pada tahun
2040. Secara keseluruhan, Freeport-Rio Tinto menyia-nyiakan 53.000
ton tembaga per tahun, yang dibuang ke sungai sebagai Air Asam Batuan (Acid
Rock Drainage, ARD) dalam bentuk buangan (leachate) dan tailing. Tingkat
pencemaran logam berat semacam ini sejuta kali lebih buruk dibanding yang bisa
dicapai oleh standar praktik pencegahan pencemaran industri tambang.
•
Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage): Hampir semua limbah batuan dari
tambang Grasberg sejak tahun 1980an sampai 2003 yang berjumlah kira-kira
1.300 juta ton berpotensi membentuk asam. Limbah batuan ini dibuang ke sejumlah
tempat di sekitar Grasberg dan menghasilkan ARD dengan tingkat keasaman tinggi
mencapai rata-rata pH = 3. Kandungan tembaga pada batuan rata-rata 4.500 gram
per ton (g/t) dan eksperimen menunjukkan bahwa sekitar 80% tembaga ini
akan terbuang (leach) dalam beberapa tahun. Bukti menunjukkan 10
pencemaran ARD dengan tingkat kandungan tembaga sekitar 800 mg/L telah meresap
ke air tanah di pegunungan tanah Papua disekitar daerah operasi Freeport yang
terbilang sangat luas.
•
Teknologi yang tak layak: Erosi dari limbah batuan mencemari perairan di
gunung dan gundukan limbah batuan yang tidak stabil telah menyebabkan sejumlah
kecelakaan, satu fatal. Kestabilan gundukan limbah batuan merupakan problema
serius jangka panjang.Situs-situs penting bagi suku Amungme telah hancur
olehnya, seperti Danau Wanagon yang sudah lenyap terkubur di bawah tempat
pembuangan limbah batuan di Lembah Wanagon. Selain itu, sejumlah danau merah
muda, merah dan jingga telah hilang dan padang rumput Carstenz saat ini
didominasi oleh gundukan limbah batuan lainnya yang pada akhirnya akan
menjulang hingga ketinggian 270 meter, dan menutupi daerah seluas 1,35 km2.
•
Pembekapan tanaman: Pengendapan tailing membekap kelompok tanaman subur
dengan menyumbat difusi oksigen ke zona akar tanaman, sehingga tanaman mati.
Proses ini telah terjadi pada sebagian bagian besar ADA, meninggalkan tegakan
mati pohon sagu dan pepohonan lain di daerah terkena dampak. Ini juga jadi
ancaman bagi populasi species terancam setempat yang membutuhkan keragaman
ekosistem hutan alam untuk bertahan hidup. Selain nilai konservasinya, endapan
tailing juga menghancurkan sungai dataran rendah yang tinggi keragaman
hayatinya, hutan hujan, dan lahan basah yang sangat vital bagi suku Kamoro
untuk berburu, mencari ikan dan berkebun.
•
Tingkat racun tailing dan dampak terhadap perairan: Sebagian besar
kehidupan air tawar telah hancur akibat pencemaran dan perusakan habitat
sepanjang daerah aliran sungai yang dimasuki tailing. Total Padatan Tersuspensi
(TSS) dari tailing secara langsung berbahaya bagi insang dan telur ikan,
serta organisme pemangsa, organisme yang membutuhkan sinar matahari
(photosynthetic), dan organisme yang menyaring makanannya (filter
feeding).Tembaga menghambat kerja insang ikan.Uji tingkat racun (toxicity) dan
potensi peresapan biologis (bioavailability) di daerah terkena dampak operasi
Freeport-Rio Tinto menunjukkan bahwa sebagian besar tembaga larut dalam air
sungai terserap oleh mahluk hidup dan ditemukan pada tingkat beracun.
•
Logam berat pada tanaman dan satwa liar: Dibandingkan dengan tanah alami
hutan, tailing Freeport mengandung tingkat racun logam selenium (Se), timbal
(Pb), arsenik (As), seng (Zn), mangan (Mn) dan tembaga (Cu) yang secara
signifikan lebih tinggi. Konsentrasi dari beberapa jenis logam tersebut
yang ditemukan dalam tailing melampaui acuan US EPA dan pemerintah Australia
dan juga ambang batas ilmiah phytotoxicity. Hal ini menunjukkan kemungkinan
timbulnya dampak racun pada pertumbuhan tanaman.Pengujian dan pengambilan
sampel lapangan menunjukkan bahwa tanaman yang tubuh di tailing mengalami
penumpukan logam berat pada jaringan (tissue), menimbulkan bahaya pada mahluk
hutan yang memakannya.Semua spesies hewan di tanah Papua disekitar Freeport
terkena dipastikan terkena racun yang berasal dari logam.
•
Perusakan habitat muara: Tailing sungai Freeport-Rio Tinto akan merusak
hutan bakau seluas 21 sampai 63 km2 akibat sedimentasi. Kanal-kanal muara sudah
tersumbat tailing dan dengan cepat menjadi sempit dan dangkal. Kekeruhan air
muara pun telah jauh melampaui standar yang diterapkan di Australia, sehingga
menghambat proses fotosintesa perairan.
•
Kontaminasi pada rantai makanan di muara: Logam dari tailing menyebabkan
kontaminasi pada rantai makanan di Muara Ajkwa. Daerah yang dimasuki tailing
Freeport menunjukkan kandungan logam berbahaya yang secara signifikan lebih
tinggi dibanding dengan muara-muara terdekat yang tak terkena dampak dan
dijadikan acuan.Logam berbahaya tersebut adalah tembaga, arsenik, mangan,
timbal, perak dan seng.Satwa liar di daerah hutan bakau terpapar logam berat
karena mereka makan tanaman dan hewan tak bertulang belakang yang menyerap
logam berat dari endapan tailing, terutama tembaga.
•
Gangguan ekologi: Freeport sempat menyatakan bahwa “Muara di hilir
daerah pengendapan tailing kami adalah ekosistem yang berfungsi dan beraneka
ragam dengan ikan dan udang yang melimpah.” Berbanding terbalik dengan
kenyataan bahwa bagian luar Muara Ajkwa, termasuk daerah pantai Laut Arafura,
mengalami penurunan jumlah hewan yang hidup dasar laut (bottom-dwelling
animals) sebesar 40% hingga 70%.
•
Dampak pada Taman Nasional Lorenz: Taman Nasional Lorenz yang terdaftar
sebagai Warisan Dunia wilayahnya mengelilingi daerah konsesi Freeport.
Untuk melayani kepentingan tambang, luas taman nasional telah dikurangi.
Kawasan pinus pada situs Warisan Dunia ini terkena dampak air tanah yang sudah
tercemar buangan limbah batuan yang mengandung asam dan tembaga dari tailing
Freeport-Rio Tinto. Sementara, kawasan pesisir situs Warisan Dunia ini juga
terkena dampak pengendapan tailing.Sekitar 250 juta ton tailing dialirkan
melalui Muara Ajkwa dan masuk ke Laut Arafura.
•
Regenerasi di Daerah Tumpukan Tailing: Tailing tambang pada akhirnya
akan meliputi 230 km2 daerah ADA, pada kedalaman hingga 17 meter. Daerah
tailing ini kekurangan karbon organik dan gizi kunci lainnya, dengan kapasitas
menahan air yang sangat buruk.Kawasan ADA yang luas yang telah mengalami
kematian tumbuhan akibat tailing takkan pernah bisa kembali ke komposisi
species semula meski pembuangan tailing berhenti. Spesies asli yang 13 bisa
tumbuh kembali di tumpukan tailing tidaklah berguna bagi masyarakat setempat,
juga tidak bisa menggantikan keberagaman spesies asli yang dulunya hidup di
wilayah rimba asli dan hutan hujan bersungai dalam ADA yang telah rusak.
•
Transparansi: Freeport-Rio Tinto beroperasi tanpa tranparansi atau
pemantauan peraturan yang layak. Tak ada informasi atau diskusi publik tentang
pengelolaan saat ini dan masa depan di tambang. Juga tak ada pembahasan
mengenai alternatif pengelolaan limbah dan rencana proses penutupan tambang.
Terlepas dari keharusan legal untuk menyediakan akses publik terhadap informasi
terkait lingkungan, perusahaan belum pernah mengumumkan dokumen-dokumen
pentingnya, termasuk ERA. Freeport-Rio Tinto juga tak pernah mengumumkan
laporan audit eksternal independen sejak 1999. Dengan demikian perusahaan
melanggar persyaratan ijin lingkungan.ERA yang dihasilkan meremehkan risiko
lingkungan yang penting, gagal memberi pilihan untuk mengurangi dampak
pembuangan limbah, serta independensi dari para pengkaji ERA pun patut
dipertanyakan.
Dampak dari Pelanggaran yang
Dilakukan PT.Freeport, yaitu :
Tailing sungai Freeport-Rio Tinto akan merusak hutan bakau seluas 21 sampai 63
km2 akibat sedimentasi. Kanal-kanal muara sudah tersumbat tailing dan dengan
cepat menjadi sempit dan dangkal. Kekeruhan air muara pun telah jauh melampaui
standar yang diterapkan di Australia, sehingga menghambat proses fotosintesa
perairan.
Logam dari tailing menyebabkan kontaminasi pada rantai makanan di Muara Ajkwa.
Daerah yang dimasuki tailing Freeport menunjukkan kandungan logam berbahaya
yang secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan muara-muara terdekat yang
tak terkena dampak dan dijadikan acuan.Logam berbahaya tersebut adalah tembaga,
arsenik, mangan, timbal, perak dan seng.Satwa liar di daerah hutan bakau
terpapar logam berat karena mereka makan tanaman dan hewan tak bertulang
belakang yang menyerap logam berat dari endapan tailing, terutama tembaga.
Freeport sempat menyatakan bahwa “Muara di hilir daerah pengendapan
tailing kami adalah ekosistem yang berfungsi dan beraneka ragam dengan ikan dan
udang yang melimpah.” Berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa bagian luar
Muara Ajkwa, termasuk daerah pantai Laut Arafura, mengalami penurunan jumlah
hewan yang hidup dasar laut (bottom-dwelling animals) sebesar 40% hingga 70%.
Taman Nasional Lorenz yang terdaftar sebagai Warisan Dunia wilayahnya
mengelilingi daerah konsesi Freeport. Untuk melayani kepentingan tambang,
luas taman nasional telah dikurangi. Kawasan pinus pada situs Warisan Dunia ini
terkena dampak air tanah yang sudah tercemar buangan limbah batuan yang
mengandung asam dan tembaga dari tailing Freeport-Rio Tinto. Sementara, kawasan
pesisir situs Warisan Dunia ini juga terkena dampak pengendapan tailing.Sekitar
250 juta ton tailing dialirkan melalui Muara Ajkwa dan masuk ke Laut
Arafura.
Tailing tambang pada akhirnya akan meliputi 230 km2 daerah
ADA, pada kedalaman hingga 17 meter. Daerah tailing ini kekurangan karbon
organik dan gizi kunci lainnya, dengan kapasitas menahan air yang sangat
buruk.Kawasan ADA yang luas yang telah mengalami kematian tumbuhan akibat
tailing takkan pernah bisa kembali ke komposisi species semula meski pembuangan
tailing berhenti. Spesies asli yang 13 bisa tumbuh kembali di tumpukan tailing
tidaklah berguna bagi masyarakat setempat, juga tidak bisa menggantikan
keberagaman spesies asli yang dulunya hidup di wilayah rimba asli dan hutan
hujan bersungai dalam ADA yang telah rusak.
Freeport-Rio Tinto beroperasi tanpa tranparansi atau pemantauan peraturan yang
layak. Tak ada informasi atau diskusi publik tentang pengelolaan saat ini dan
masa depan di tambang. Juga tak ada pembahasan mengenai alternatif pengelolaan
limbah dan rencana proses penutupan tambang. Terlepas dari keharusan legal
untuk menyediakan akses publik terhadap informasi terkait lingkungan,
perusahaan belum pernah mengumumkan dokumen-dokumen pentingnya, termasuk ERA.
Freeport-Rio Tinto juga tak pernah mengumumkan laporan audit eksternal independen
sejak 1999. Dengan demikian perusahaan melanggar persyaratan ijin
lingkungan.ERA yang dihasilkan meremehkan risiko lingkungan yang penting, gagal
memberi pilihan untuk mengurangi dampak pembuangan limbah, serta independensi
dari para pengkaji ERA pun patut dipertanyakan.
Sanksi yang didapat PT.Freeport
Berbicara tentang sanksi sampai saat
ini belum ada sanksi hukum yang didapat oleh PT.Freefort, sampai saat ini hanya
sanksi sosial saja yang di dapat oleh PT.Freeport seperti Kasus
PT Freeport dengan masyarakat dan buruh pegawai sama-sama bersitegang. Tak terkecuali
Kesatuan Polisi yang menjadi satpam Freeport melawan rakyat Papua yang merasa
terdholimi. Sehingga konflik melebar pada emosional rakyat yang banyak
melakukan langkah separatis dan bergabung dengan OPM gerakan PapuaMerdeka.
Analisis Kasus sesuai Teori
Dari studi kasus diatas PT.Freeport
telah melakukan pelanggaran teori Deontology karena tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk Memenuhi
kewajiban mensejahterakan karyawan dan menjaga lingkungan,
pelanggaran
teori hak karena PT Freeport Indonesia sangat tidak
etis dimana kewajiban terhadap para karyawan tidak terpenuhi karena gaji yang
diterima tidak layak dibandingkan dengan pekerja Freeport di Negara lain.
Padahal PT Freeport Indonesia merupakan tambang emas dengan kualitas emas
terbaik di dunia.Melihat fakta yang terjadi PT.Freeport Indonesia jugadalam menjalankan aktivitas bisnisnya tidak berpatokan
kepada standar prosedur operasional keselamatan
keamanan pekerja dan telah mengakibatkan pencemaran lingkungan sehingga
menimbulkan citra perusahaan kurang profesional.
Solusi
Penyelesaian Masalah yang kami berikan
Masalah pada
PT.Freeport bukan sekedar penandatangan kontrak kerja baru, hitam di atas
putih. Seharusnya disinilah pemerintah andil
dalam penyelesaian masalah yang lebih krusial lagi, yaitu lingkungan dan
penegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Sehingga berbagai
pelanggraran-pelanggaran etika bisnis pada PT. Freeport dapat terselesaikan.
Sehingga tidak ada yang di rugiakan baik masyarakat ataupun lingkungannya.
Karena perusahaan yang baik atau beretika tidak hanya mengejar keuntungan
belakamelainkan pula memiliki kepedulian terhadap ketertarikan lingkungan kesejahteraan
masyarakat. PT.
Freeport Indonesia (PTFI) seharusnya menciptakan iklim bisnis yang sehat baik
dikantor pusat maupun kantor cabang lain sehingga dapat menciptakan stabilitas
sosial yang akan menunjang kegiatan bisnis, sehingga tidak ada yang dirugikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar