DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEKAYAAN
1.1 Pendahuluan
Mengutip Naqvi
(1994:71), bahwa komparasi Sistem Ekonomi Islam dengan sistem ekonomi yang lain
adalah bertujuan untuk menggambarkan karakter dasar sistem Ekonomi Islam. Dalam
konteks ini, lanjutnya, perlu ditekankan empat hal: (1) alasan untuk membedakan
Ekonomi Islam dari Kapitalisme, Sosialisme dan Konsep Negara Kesejahteraan (the
Welfare State) dengan merujuk pada nilai-nilai etik Islam adalah bermaksud
untuk menyusun superioritas Islam atas rival-rivalnya berdasarkan kacamata
seorang muslim yang refresentatif, yaitu orang yang memiliki kecenderungan
untuk lebih menyukai sebuah sistem ekonomi yang serasi dengan keyakinan
etiknya; (2) hal itu hanya ilustrasi lain yang menunjukkan bahwa sebuah sistem
teoritis yang mengkombinasikan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan
nilai-nilai moral mungkin sekali lebih superior ketimbang sistem yang hanya
membanggakan positivisme sempit; (3) membuat suatu komparasi bukan berarti
pengutukan besar-besaran terhadap Sosialisme atau Kapitalisme [Konvensional].
Kedua system ini juga telah bekerja dengan 'kesuksesan' yang harus dipelajari
oleh sistem ekonomi Islam saat ini—misalnya dari visi mereka yang tajam
mengenai perkembangan ekonomi dan sosial; dari sosialisme mengenai penekanan
terhadap keadilan social dan distribusi; dari kapitalisme tentang penekanan
terhadap akumulasi dan pertumbuhan dalam kerangka kebebasan individu; dari
sistem Negara Kesejahteraan mengenai pengkombinasiannya atas pertumbuhan
ekonomi, keadilan, kebebasan individu dan tanggungjawab sosial; dan (4) dengan
absennya kenyataan sistem ekonomi Islam dalam waktu yang relatif panjang
komparasi tersebut harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian.[1]
Dengan berpijak pada
beberapa catatan penting Naqvi di atas, dalam makalah ini akan sedikit diungkap
beberapa perbedaan fundamental konsep keadilan distribusi antara sistem ekonomi
konvensional, didahului dengan uraian singkat pengertian distribusi, pendapatan
dan kekayaan, dan diakhiri dengan kesimpulan dan penutup.
1.2 Pengertian Distribusi
Distribusi atau
pembagian adalah klasifikasi pembayaran-pembayaran berupa sewa, upah, bunga
modal dan laba, yang berhubungan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh
tanah, tenaga kerja, modal dan pengusaha-pengusaha. Ia adalah proses penentuan
harga yang dipandang dari sudut si penerima pendapatan dan bukanlah dari sudut
si pembayar biaya-biaya. Distribusi juga berarti sinonim untuk pemasaran
(marketing). Kadang-kadang ia dinamakan sebagai functional
distribution.[2]
Namun demikian, fikih
klasik nampaknya hanya menerminologikan tauzii dalam kerangka pengertian
etimologis saja. Secara ad hoc, belum ada pengertian tauzii yang
cukup relevan dengan terma distribusi dalam ekonomi teoritika modern.[3]
Hingga kemudian,
sebagian ekonom muslim juga menulis tentang ekonomi islami dan melakukan
"adaptasi" terhadap terminologi-terminologi ekonomi konvensional,
seperti yang dilakukan Abdul Hamid Ghazali (1989 : 79)[4], Muhammad Afar (1996: 32)[5], Umer Chapra (2000: 99)[6], dan lain-lain. Barangkali inilah
pandangan mainstream ekonom muslim pada umumnya karena bagi mereka konsentrasi
teoritis ilmu ekonomi manapun pasti akan membahas aspek alokasi dan distribusi
sumber-sumber daya. Belakangan terminologi redistribusi (I’âdat at Tauzii’)
juga digunakan oleh sebagian ekonom muslim dengan berkaca pada adanya mekanisme
zakat, sedekah, kafarat, belanja wajib yang diterapkan dalam Islam.
1.3 Pengertian Pendapatan dan Kekayaan
Pendapatan diartikan
sebagai suatu aliran uang atau daya beli yang dihasilkan dari penggunaan sumber
daya properti manusia.[7] Menurut Winardi (1989), pendapatan (income),
secara teori ekonomi adalah hasil berupa uang atau hasil material lainnya yang
dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa-jasa manusia bebas. Dalam pengertian
pembukuan pendapatan diartikan sebagai pendapatan sebuah perusahaan atau
individu.[8]
Sementara kekayaan (wealth)
diartikan oleh Winardi (1989) sebagai segala sesuatu yang berguna dan digunakan
oleh manusia. Istilah ini juga digunakan dalam arti khusus seperti kekayaan
nasional. Sloan dan Zurcher mengartikan kekayaan sebagai obyek-obyek material,
yang ekstern bagi manusia yang bersifat : berguna, dapat dicapai dan langka.
Kebanyakan ahli ekonomi tidak menggolongkan dalam istilah kekayaan hak milik
atas harta kekayaan, misalnya saham, obligasi,surat hipotik karena
dokumen-dokumen tersebut dianggap sebagai bukti hak milik atas kekayaan, jadi
bukan kekayaan itu sendiri.[9]
Dalam khazanah fikih
Islam, padanan yang cukup relevan dengan terma kekayaan dalam ekonomi adalah
harta/mâl atau tsaurah. Dalam mendefinisikannya, ada
dua kecenderungan pakar fikih; (1) sesuatu yang bermanfaat dan bisa diukur; (2)
sesuatu yang berharga dan mesti dijamin/diganti oleh perusaknya.[10] Pengertian
kedua yang merupakan pendapat mainstream pakar hukum Islam, kiranya sesuai
dengan defenisi kekayaan dalam ekonomi konvensional. Dengan kata lain, dalam
perspektif syariah, defenisi kekayaan dalam ekonomi konvensional secara umum
tidak problematis.
1.4 Distribusi Pendapatan dan Kekayaan
dalam Islam dan Sistem Ekonomi Lain
Al Jarhi dan Zarqa
(2004) berpendapat bahwa ilmu ekonomi memberikan perhatian yang besar terhadap
ranah distribusi dalam pengertian tujuan penentuan bagian setiap faktor
produksi (determining the share of each factor of production) melalui
proses yang terjadi dalam market exchange. Namun kurang
memperhatikan ranah redistribusi dalam pengertian penggapaian level tertentu
dari keadilan sosial dan equitas. [11]
Dalam ekonomi
kapitalis, misalnya, kepemilikan harta pribadi diakui juga tidak ada kebebasan
yang sempurna, sebagian dapat memperoleh kebebasan lebih dari yang lain. Di
samping itu adanyatrade-off antara equality dan
efisiensi[12] dalam
alokasi sumber daya guna memaksimalkan output dan kesejahteraan sosial
mengakibatkan adanya distribusi yang tidak merata.[13] Efesiensi
alokasi dalam ekonomi konvensional hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber
daya yang ada habis teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai, namun tidak
mengatakan apapun perihal apakah alokasi tersebut adil.
Anggaplah bahwa
tingkat produksi gandum sebesar OW* dan produksi beras sebesar OR*. Segi empat
OW*OR* adalah Edgeworth Box.[14] Titik
O adalah titik origin bagi A, oleh karenanya A akan memaksimalkan utility-nya
dengan mendorong Ua sejauh mungkin dari titik O mendekati titik L. Sedangkan
bagi B, titik originnya adalah L, oleh karenanya B akan memaksimalkan
utility-nya dengan mendorong Ub sejauh mungkin dari titik L mendekati titik O.
Pareto optimal[15] terjadi
pada saat persinggungan Ua dan Ub. Pada saat itu MRSa= MRSb, yang digambarkan dengan
priceline LKLK. Priceline ini adalah juga budget line A digabung dengan budget
line B. Budget line A adalah KK, dan budget line B adalah LL. Oleh karenanya
slope MLM pada kurva production possibility frontier[16]sama
dengan slope kurva LKLK.
Pada titik Pareto optimal jumlah barang
yang diproduksi sama dengan jumlah konsumsi. Jumlah beras yang diproduksi
adalah sejumlah OR* dan jumlah gandum yang diproduksi adalah sebesar OW*.
Jumlah beras yang dikonsumsi oleh A adalah ORa sedangkan jumlah beras yang
dikonsumsi oleh B adalah RaR*, sehingga total konsumsi beras adalah OR*.
Jumlahh gandum yang dikonsumsi A adalah OWa dan jumlah gandum yang dikonsumsi B
adalah WaW*, sehingga total konsumsi gandum adalah OW*. Gambar berikut ini
menunjukkan kondisi optimal solution pada sistem ekonomi kapitalis.
Sementara itu, pada
ekonomi sosialisme (klasik), sentralisasi yang digabungkan dengan kebijakan
redistribusi oleh perencana sosialis akan menimbulkan masalah inefisiensi,
produktivitas yang rendah dan tidak adanya insentif untuk bekerja, yang
disebabkan mengecilnya utilitas dan PPF. Dengan asumsi kasus di atas, kita
ilustrasikan hal ini dengan kurva berikut.
Apabila perencana
sosialis mempertahankan harga produk tetap, peningkatan endowment B
melalui kebijakan centralization–cum-redistribution membuat
kenaikan tingkat kepuasan B dengan menambah jumlah output dengan tingkat
kenaikan yang semakin menurun.
Pada harga tetap,
penurunan endowment A akan menyebabkan menurunnya tingkat
kepuasan A dengan tingkat penurunan yang semakin bertambah.
Dalam sistem sosialis
klasik anggaplah initial endowment diubah oleh pemerintah
dengan melakukan land-reform. Lahan A diambil sebagian untuk dibagikan kepada
B, sehingga lahan yang dimiliki oleh A dan B sama besarnya. Secara grafis
keadaan ini digambarkan pada kurva di atas (lihat gambar 1.2.).[17]
Melakukan analisis
perbandingan trade off efficiency dan equity antara
sistem ekonomi kapitalis, sosialis, dan Islami, Awan (1983) dengan pisau
analisis utility possibility frontier (UPF) danproduction
possibility frontier (PPF) seperti diilustrasikan di atas menyimpulkan
bahwa isowelfare dan tingkat produksi dalam ekonomi Islam lebih tinggi, hal ini
setidaknya dikarenakan:
1. Dalam
sistem Kapitalis Klasik, ada initial endowment gap dalam
memanfaatkan sumber daya yang ada, petani A yang kaya mendapat marginal
satisfaction yang lebih kecil dibandingkan petani B yang miskin;
2. Dalam
sistem sosialis klasik UPF dan PPF berada pada tingkat yang lebih rendah karena
masalah inefisiensi, rendahnya produktivitas dan berkurangnya insentif;
3. Dalam
sistem Islami nilai turunnya satisfaction (ar-ridhâ)
lebih kecil dibandingkan naiknyasatisfaction.[18]
Di samping itu,
untuk sebagian besar ekonom konvensional, keadilan dan efisiensi tidak bisa dikombinasikan,
bila keadilan (equity) dilakukan maka efisiensi akan tergerus.
Setidaknya hal ini telah kadung diterima sejak akhir tahun 1960. Namun
belakangan ada penelitian-penelitian sebagian ekonom yang mengakui bahwa
keadilan --dalam batas tertentu— tidak mengganggu efisiensi, seperti yang
dilakukan Rebbeca Blank (2002).[19]
1.5 Konsepsi umum Fikih Islam mengenai
distribusi dan redistribusi
Diskursus distribusi
sangat menyangkut hak-hak indidivu dalam masyarakat. Hak-hak inilah, baik pada
individu atau properti, yang menyediakan aturan dasar bagi karakter sebuah
ekonomi dan selanjutnya menentukan bagaimana distribusi atas pendapatan dan
kekayaan dilakukan. Sehingga konsepsi hak kepemilikan dan hak kebebasan sangat
mendasar untuk menentukan dan mencapai pola distribusi yang diinginkan.
Pada dasarnya
distribusi pendapatan dan kekayaan berdasarkan maslahat dan batas waktu (alhafz),
sementara distribusi pendapatan dilandasi oleh produksi, barter, dan
pertimbangan-pertimbangan pasar. Sedangkan redistribusi berlandaskan pada
pertimbangan keagamaan, moral, keluarga dan sosial (atau biasanya disebut
transformasi sosial)[20].
Zarqa dan Al Jarhi (2005) lebih jauh menjelaskan bahwa redistribusi dilandasi
oleh prinsip utilitarian islam, penebusan doa (atonement for sins),
sebagai sebuah konsesi kemunduran, dan pergantian (exchange) abadi
antara Tuhan dan hambanya.
Melalui analisis
induktif terhadap hukum Islam, Qal’aji (2000:80) memaparkan bahwa Sumber Daya
Alam yang merupakan sumber kekayaan sesungguhnya milik Allah. Namun kepemilikan
Tuhan ini diamanahkan kepada manusia dengan mekanisme kerja. SDA ini pada
kenyataannya ada yang telah dimiliki manusia dan ada yang belum bertuan. SDA
yang telah bertuan dianggap sebagai aset. Qalaji menskemakan hal ini sebagai
berikut.
Secara garis besar,
redistribusi kekayaan dan pendapatan dalam Islam dikenal melalui tujuh cara:
(1) Zakat; (2) Sedekah; (3) Belanja wajib; (4) Kafarat (5) Nadzar; (6)
Sembelihan; dan (7) Insentif Negara.
Yang pertama,
zakat yang diwajibkan hanya atas orang-orang kaya dengan ketentuan telah
mencapai nisab. Adapun target redistribusinya setidaknya meliputi tiga pihak;
(1) mereka yang memerlukan materi yaitu orang-orang fakir, miskin dan
yang berhutang; (2) otoritas syariah Islam, melalui para pejuang di jalan
Allah; dan (3) Pegawai pada lembaga zakat. Yang kedua, sedekah atau
kegiatan filantrofi yang dianjurkan oleh Islam. Dalam hal ini, Rasulullah Saw.
pernah bersabda, “Mâ naqasha mâlun min shadaqatin”[21] yang
menyiratkan bahwa setidaknya nilai harta tidak akan berkurang bila
disedekahkan, di samping itu fungsi sedekah juga dianggap sebagai tindak
pencegahan terhadap instabilitas/bala bencana berdasakan pada sabda beliau yang
lain, “Bâdirû bi as shadaqati fa inna al balâ lâ yatakhathâhâ”.[22] Yang Ketiga, belanja
halal yang wajib baik dikarenakan perkawinan seperti belanja untuk isteri atau
dikarenakan kebutuhan seperti belanja yang dikeluarkan untuk keluarga/kerabat
faqir yang diwarisi atau untuk orang yang tidak/kehabisan bekal dalam
perjalanan.[23] Yang keempat,
kafarat atau denda yang bentuknya bisa pembebasan hamba sahaya (untuk denda
membunuh, zhihar, dan membatalkan sumpah); dalam bentuk memberikan makanan bagi
orang fakir (untuk denda membatalkan sumpah, zihar bila tak mampu puasa dua
bulan berturut-turut, dan denda melanggar larangan Ihram); dan dalam bentuk
pemberian pakaian yang laik bagi orang fakir (denda pembatalan sumpah). Yang kelima,
nadzar yaitu dalam kasus seseorang yang mewajibkan dirinya untuk melakukan
perbuatan mubah karena mengagungkan Allah misalnya dengan nadzar (‘komitmen’)
untuk bersedekah, dll. Yang keenam, daging sembelihan pada hari
idul Adha. Yang ketujuh, insentif Negara yang diberikan oleh
pemerintah pada saat distribusi pendapatan dan kekayaan tidak adil dan adanya
disparitas yang sangat besar antara yang kaya dan yang miskin.[24]
Lebih spesifik, Al
Masri (1999) menggambarkan pembahasan distribusi beberapa potensi alam dan
asset yang lain:
1. Tanah.
Macam kepemilikan atas tanah tergantung kondisi tanah, setidaknya ada enam: (a)
tanah yang diserahkan secara rida dan sukarela. Hukumnya adalah milik bagi yang
dipermilikkan/diserahi, (b) tanah yang diserahkan karena perdamaian dari
sengketa. Dalam konteks ini berlaku akad (transaksi) as Sulh (rekonsiliasi);
(c) tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Menurut mainstream ulama, tanah
ini menjadi tanah waqaf untuk komunitas muslim, sedangkan ahli hukum aliran
Hanbali berpendapat bahwa keputusan diserahkan kepada penguasa; (d) tanah yang
hijau dan subur secara alami seperti rimba belantara. Tanah ini adalah milik
seluruh komunitas muslim; (e) tanah tak bertuan. Hukumnya boleh dimiliki secara
khusus bagi yang kemudian membuka/mengelolanya; (f) tanah musuh yang dibuka
dengan kekerasan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama[25]:
yang pertama pemerintah wajib membaginya laksana harta rampasan tidak bisa
dipindah (unremoveable/ghar manqûlah), yang kedua, status tanah
adalah harta wakaf bagi komunitas muslim.
2. Ghanimah/Rampasan
perang. Adapun rampasan yang bisa dipindah maka dibagi limasebagaimana di
atur dalam ayat.
3. Tambang,
baik tambang atau hasilnya. Apabila terletak di tanah negara maka ia milik
negara, sementara bila berada di tanah khusus/privat maka ada perbedaan
pendapat ulama dalam hukum kepemilikannya. Sedangkan jika tambang itu berada di
tanah terbuka-belum terjamah (open land/mubâh), maka juga terdapat
perbedaan pendapat dalam hal ini.
4.
Air. Menurut ahli hukum Islam, air terbagi pada dasarnya terbagi tiga:
(1) air yang ditampung/dikemas. Air ini boleh dimiliki dan diperjualbelikan.
(2) Air alami seperti sumur dan mata air (sumber alam yang tersembunyi). Air
ini bersifat terbuka untuk digunakan namun pemilik tanahnya lebih berhak untuk
menggunakannya, meskipun sebenarnya ia wajib memberikan kelebihan keperluannya
untuk orang yang membutuhkan tanpa pamrih[26];
(3) Air laut, sungai, danau, dan yang dialirkan (sumber alam yang jelas).
Menurut kesepakatan pakar hukum Islam, air jenis milik umum dan terbuka.[27]
5. Air
internasional.[28]
6. Tumbuhan
jenis rumput yang tumbuh alami. Bila ia berada di tanah umum, maka menjadi
milik umum. Bila berada di tanah pemerintah diserahkan kepada orang-orang yang
berhak. Jika berada di tanah khusus/privat, maka terdapat perbedaan pendapat
ulama.
7. Api/penerangan
dan semacamnya.Ada beberapa pengertian ulama mengenai an nâr dalam
hal ini. Bagi yang menganggapnya api penerangan atau sejenis briket, maka tak
ada satupun yang menolak bahwa ia bisa dimiliki oleh siapapun.
8. Area
khusus,[29] Bila
yang dijadikan area khusus ini adalah tempat yang sebenarnya terbuka/mubah,
maka hal itu dilarang karena sama artinya menutup akses orang lain untuk menggunakan
area tersebut.
9. Pembagian
tanah.[30].
Atu satu bentuk dari mekanisme produksi, dalam istilah Muhammad Baqir As Sadr.
Pembagian ini bisa berupa manfaat atau kepemilikan, baik dari tanah pemerintah
atau bukan. Baik temporal atau selamanya.
10. Hadiah
dari pertandingan/perlombaan tertentu. Al Masri membaginya kepada tiga macam:
(a) Lomba yang boleh dan hadiahnya diperbolehkan seperti untuk tujuan
perjuangan perang sabilillah; (b) lomba yang boleh dan tidak ada hadiahnya
seperti gulat (3) lomba yang murni tidak diperbolehkan seperti main dadu (narid).
Dilihat dari sisi
unsur-unsur revenue produksi, distribusi fungsional setidaknya
meliputi: (1) hasil keuntungan tanah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
ulama mengenai hukum mengambilnya. Ada yang membolehkannya dengan
mekanisme muzâraah atau musâqâh, ada yang menganggapnya makruh, ada pula yang
tidak memperbolehkannya sama sekali.; (2) upah/gaji. Ia ditentukan dari
mekanisme transaksinya dan implikasinya: misalnya upah pekerja di tanah
tertentu. ; (3) margin dari keuntungan, baik berupa pajak (Al Kharâj).
Sementara redistribusi
(distribusi pribadi) dalam Islam bisa merupakan implikasi kebijakan
ekonomi-sosial pemerintah atau merupakan inisiasi pilantropik. Dengan bahasa
lain, ia bisa bersifat imperatif atau tidak. Yang bersifat imperative misalnya,
zakat, belanja keluarga, warisan, kafarat dan nadzar. Terkadang yang imperative
ini diobligasikan oleh pemerintah seperti untuk zakat harta yang terlihat. Yang
bersifat pilantropik semisal sedekah sunat, hibah, dan wasiat.[31]
Redistribusi, ujar
Zarqa dan Al Jarhi (2005) setidaknya bertujuan untuk: (1) melawan kemiskinan,
mengingat adanya ajaran penghormatan kepada anak Adam (QS. 17:70). Ini
merupakan tujuan utama; (2) purifikasi bagi penderma.; dan (3)mereduksi
ketidakadilan. Ini merupakan tujuan kedua dari redistribusi. Islamlah
satu-satunya agama yang mengklaim tujuan ini dan menregulasi instrumen
pendukung melalui zakat/direct redistribution (QS: 59:7).[32]
1.6 Penutup
Dengan demikian, dalam
Islam keadilan distribusi dan redistribusi diatur dalam khazanah fiqih/hukum
Islam yang sebenarnya cukup luarbiasa. Namun sayangnya kadangkala akses ke sanasulit
dan komitmen dan political will untuk mengejewantahkannya
masih belum kuat. Di sisi lain, distribusi dan redistribusi dalam ekonomi
konvensional masih umum digunakan dan tampaknya akan berevolusi menuju titik
tertentu, barangkali adalah instabilitas. Ujar sebagian ekonom konvensional
sendiri seperti Olson and Scully (1982/1988) “income inequality fuels social
discontent and creates political instability.” Wallahu ‘alam.
[1]Naqvi, Syed Nawab Haider, Islam, Economics, and Society, (London:
Kegan Paul International Ltd, 1994), h. 71-71.
[3] Lihat misalnya : as
Syarbâshî, Ahmad, al Mu'jam al Iqtishâdî al Islâmî, (Cairo : Dar al
Geil, 1981); al Mausû'ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, (Kuwait:
Wazaarat al Awqaaf wa as Syu'uun al Islaamiyyah, 1997); az Zuhaili, Wahbah,
al Fiqh al Islâmi wa Adillatuhû, (Damaskus, Dar al Fikr, 1985).
[4]Lihat misalnya bukunya, Hawla al Manhaj al Islâmy fi at Tanmiyah al
Iqtishâdiyyah, (Cairo: Dar al Wafaa, 1989), h. 79.
[5]Lihat misalnya tulisannya tentang at Tauzii' (Cairo: Daar
al Fath lil Ilaam al Araby, 1996), h. 302
[6] Lihat klaimnya tentang
ini dalam buku the Future of Economics: An Islamic Persfective, terjemahanIndonesia Masa
Depan Ilmu Ekonomi; SebuahTinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), h. 99.
[7] Campbell R.
MacConnel and Stanley R. Brue, Economics Principles,
Problems, and Policies, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2002), h.
G-12.
[10]Az Zuhaili, Wahbah, al Fiqh al Islâmi wa Adillatuhû, (Damaskus, Dar
al Fikr, 1985), vol. 4, h. 399.
[11] Mabid Ali al Jarhi and
Muhammad Anas Zarqa, Redistributive Justice in a Developed Economy: An
Islamic Perspective, paper presented at 6th International
Conference on Islamic Economics and Finance, (Jakarta: Bank Indonesia,
2005).
[12]Secara tradisional, ekonomi memperlakukan efisiensi dan equity secara
terpisah. Landasan teoritisnya adalah the Second Fundamental Theorem of
Welfare Economics yang mempertahankan bahwa outcome Pareto yang
efisien dapat diterapkan sebagai ekuilibrium kompetitif yang memberikan
transfer dan pajak dengan harga borongan yang tepat (Furman dan Stiglitz,
1998).
[13] Lihat: Adiwarman A.
Karim. Ekonomi Mikro Islami. Edisi Ketiga. (Jakarta:
Rajawali Press, 2007), h. 225.
[14] Kotak dari ruang
konsumsi untuk menganalisa pertukaran dua komoditi dari setidaknya dua
individu.
[15]Hukum Pareto adalah suatu pemukulrataan mengenai distribusi pendapatan oleh
besarnya jumlah penduduk. Pemukulrataan tersebut adalah bahwa suatu frekuensi
distribusi pendapatan-pendapatan pada saat dan tempat berbeda akan menunjukkan
stabilitas tinggi. Pareto diambil dari nama penggagasnya yaitu Vilfredo Pareto
(1848-1923).
[16] Production possibility
frontier adalah batas kemampuan produksi yang mengungkapkan batas-batas
peluang produksi, biasanya disingkat PPF.
[17] Lebih lanjut ihat misalnya, Akhtar Awan, Equality, Efficiency
and Property Ownership in the Islamic Economics System, (New York:
University Press of America, 1983) dalam Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro
Islami, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 225-237.
[19] Mabid Ali al Jarhi and Muhammad Anas Zarqa, Redistributive
Justice in a Developed Economy: An Islamic Perspective, paper presented at
6th International Conference on Islamic Economics and
Finance, (Jakarta: Bank Indonesia, 2005) h. 36.
[20] Al Masry, Rafeq Younes, Ushûl Al Iqtishâd Al Islâmy,
(Beirut: Al Daar As Syaamiyah, 1999), h. 226.
[22] Qal’aji, Mabâhist fi al Iqtishâd al Islâmy min Ushûlihî al
Fiqhiyyah, (Beirut: Dar an Nafaes, 2000), h. 87; Al Jazri, Mubarak Ibnu al
Atsir, Jâmi al Ushûl, no. 3645 (Kuwait: Maktbah al Mallah, 1392)
[23] Qal’aji, Mabâhist fi al Iqtishâd al Islâmy min Ushûlihî al
Fiqhiyyah, (Beirut: Dar an Nafaes, 2000), h. 87
[24] Lebih lanjut lihat, Qal’aji, Mabâhist fi al Iqtishâd al
Islâmy min Ushûlihî al Fiqhiyyah, (Beirut: Dar an Nafaes, 2000), h. 88.
[25] Lihat perdebatan klasik antara dua kelompok sahabat tentang
pembagian tanah Syam dan Irak (Al Kharaj, Abu Yusuf, h.24-26).
[26] Ini merupakan pendapat mainstream ulama. Sumber hukum tentang ini
bisa dirujuk pada Fath Al Bâry, komentar atas Sahih Al
Bukhâry, pada pembahasan mengenai penggelapan dalam jual beli (Bâb Al ihtiyâl
fî Al Buyû’) vol. 5, h. 35; Sahih Muslim dengan komentar Imam Nawawi, vol.
4, h. 73; Zâd Al Ma’âd karya Ibnu Al Qayyim, vol. 5, h. 797-807.
[27] Al Muslimun syurakâ fi tsalâts: Al Mâ’u wa Al Kala’ wa An Nâr (HR.
Abu Dawud, Ibnu Majah, Al Baihaqi, As Suyuthi)
[29] Tradisi arealisasi khusus (al hima) dilakukan oleh
masyarakat jahiliyah untuk mengamankan privasi mereka seperti member makan
ternak dari rumput-rumputan dan air di daerah tertentu. Inilah yang sebenarnya
yang dilarang sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadist, lâ himâ
illâ li Allâh wa rasûlih.i (lihat misalnya uraian Imam Syafii dalam Al
Umm 3/270)
[30] Otoritas yang diberikan pemerintah untuk mengelola tanah tertentu.
(Lihat misalnya Abu ‘Aubyd, Al Amwâl) h. 347.
[31] Lihat lebih jauh tentang distribusi dan distribusi dalam Islam, Al
Masry, Rafeq Younes, Ushûl Al Iqtishâd Al Islâmy, (Beirut: Al Daar
As Syaamiyah, 1999), h. 226.
[32] Mabid Ali al Jarhi and Muhammad Anas Zarqa, Redistributive
Justice in a Developed Economy: An Islamic Perspective, paper presented at
6th International Conference on Islamic Economics and
Finance, (Jakarta: Bank Indonesia, 2005) h. 43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar