SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FIQH DAN USHUL FIQH
Pendahuluan
Ulama sependapat
bahwa di dalam syariat islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua
tindak-tanduk manusia, baik perkataan dan perbuatan. Hukum-hukum itu adakalanya
disebutkan secara jelas serta tegas dan adakalanya pula hanya dikemukakan dalam
bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk memahami hukum islam
islam yang hanya dalam bentu dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum
diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali
hokum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang
mendalam yang disebut dengan fiqh. .(Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu
fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 1)
Di masa Rasulullah
saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami
hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah
saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw. (Ahmad Sahal Hasan, Lc,
Sejarah Ushul Fiqh, dakwatuna.com)
Para sahabat ra
menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’an dan mengetahui
dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli
bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa,
sehingga sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori
(kaidah) untuk dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis
telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat mereka gunakan di saat
memerlukannya. Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak
berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang
peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di
kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad
begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah
terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya. (Ahmad Sahal Hasan, Lc,
Sejarah Ushul Fiqh, dakwatuna.com)
Sejarah
perkembangan ilmu fiqh terbagi kepada beberapa periode: periode pertumbuhan,
periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama samapi pada masa
Dinasti Amawiyyin, periode kesempurnaan, periode kemunduran, periode
pembangunan kembali.
Sejarah
Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh
A. Sejarah
Perkembangan Fiqh
Para Ahli membagi
sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada beberapa periode.
Pertama, periode
pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan(Bi’tsah) Nabi Muhammad sampai beliau
wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini, permasalahan fiqih
diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu
adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju
pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan.
Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.(Prof.
Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 13)
Setelah hijrah,
barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan
haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah
permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh
suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode
Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada
wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw. (Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij
Al Ijtihad Fi Al Islam, hal. 43)
Kedua, periode
sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin)
sampai dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber fiqih pada periode
ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para
sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan
pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang
muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke
dalam agama Islam. .(Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul
Fiqh, 2004, Hal 15)
Pada periode ini,
para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisiyang
terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para
faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak
diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak
ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Menurut penelitian Ibnu Qayyim,
tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang
merupakan pendapat faqih tentang hukum. (Ibnu Al Qayyim, I’lam Al
Muwaqqi’in, Dar Al Kutub Al Haditsah, I, hal. 12)
Ketiga, periode
kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar dirasah islamiyah pada
masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun
(101H-350H/720-961M). Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan
pembukuan hokum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan pesat
sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan secara intensif, baik
berupa penulisan hadis-hadis nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir
Al-Qur’an, kumpulan pendapat-pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu
ushul fiqh. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004,
Hal 17).
Pada masa ini
lahirlah pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya besarnya, seperti Imam Abu
Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu Yusuf(Penyusun kitab
ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitab al-Muwatha’, Imam
Syafe’I dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya
Musnad, dan beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid-muridnya
masing-masing. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh,
2004, Hal 18)
Diantara factor
lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu
pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
1. Adanya
perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
2. Adanya
kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para
ulama.
3. Telah
terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa
khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan
Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan
muridnya Mujahid(w104H) dan kitab-kitab lainnya.
Keempat, periode
kemunduran-sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan karena hanya menyandarkan
produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya-yang dimulai pada
pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir 13H, atau sampai terbitnya buku
al-Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat tahun 1876M. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto
MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 18)
Pada periode ini,
pemerintah Bani Abbasiyah-akibat berbagai konflik politik dan berbagai factor
sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari
kekuasaanya. Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk
mencapai tingkat umjtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu
mereka pada periode kejayaan. Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang
dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama
yang mengakji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya;Al-Qur’an dan hadist.
Mereka puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan
meningkatkan diri kepada pendapat tersebut ke dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah.
Sikap seperti inilah kemudian mengantarakan umat islam terperangkap kea lam
pkikiran yang jumud. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul
Fiqh, 2004, Hal 18)
Kelima, periode
pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Pada
periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah
berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu
terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun
1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan
betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan
merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai
berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari
sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam islam, baik
dibidang pendidikan, ekonomi, militer, social, dan gerakan intelektual lainnya. (Prof.
Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 23).
Gerakan pembaharuan
ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak di antara
pembaharuan itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih
itu sendiri. Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan kembali
kepada Al-Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat dan
tabi’in terdahulu. Mereka inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad Abdul
Wahab di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din
Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain sebagainya. (Prof.
Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 24)
2. Sejarah
Perkembagan Ilmu Ushul Fiqh
Ushul fiqh ada
sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan
dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh.
Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh.
Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan,
dipisah dan dibeda-bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada
sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak
menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya,
kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka
telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat
sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu
(iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia
melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan
(bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia
melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat
ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan
meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama
empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin
Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir
menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak
menjelaskannya. (islamwiki.com18/05/10)
Pada umumnya,
sesuatu itu ada baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaanya,
bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq
(ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul
dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari
kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan
berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi),
sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan. (islamwiki.com18/05/10)
Dengan
demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan
ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran
pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad
SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi
membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada
waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh.
Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.
Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) danSunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah.
Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam,jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat. (islamwiki.com18/05/10)
Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) danSunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah.
Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam,jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat. (islamwiki.com18/05/10)
Sampai masa sahabat
lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa tabi’in,
mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabi’in tidak merasa
perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa
Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat.
Setelah lewat masa
tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru muncul,
orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul
banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan
perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh
kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar
para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi
perselisihan. (islamwiki.com18/05/10)
Kaidah-kaidah yang
mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia
pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil.
Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.(islamwiki.com18/05/10)
Ilmu ushul fiqh
muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya
kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka
menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di
kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka
mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis,
meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad
mereka. (islamwiki.com18/05/10)
Ada pendapat yang
mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh adalah Abu
Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak
pernah kita temukan. (ensklopediaislam.com/18/05/10)
Menurut Abdul
Al-Wahab Khalaf, Muhammad bin Idris Al-Syafi’I (150-102H) yang pertama kali
membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul Fiqh yang disertai dengan alasan-alasanya
dalam kitabnya ar-Risalah . Inilah kitab ilmu suhul fiqh pertama yang
sampai kepada kita. Oleh sebab itu, Imam Syafe’ilah yang dipandang-oleh para
ulama-sebagai pencipta ilmu ushul Fiqh dan dilanjutkan oleh pembahansan
ulama-ulama generasi berikutnya. (Wahab Khallaf, op.cit, hlm 15-17)
Kesimpulan
Untuk memahami
hukum islam islam yang hanya dalam bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara
umum diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk
menggali hukum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman
yang mendalam yang disebut dengan fiqh.
Ushul fiqh ada
sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan
dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh.
Perkembangan ushul fiqh banyak mengalami periode-periodenya diantaranya: periode
pertumbuhan, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama samapi
pada masa Dinasti Amawiyyin, periode kesempurnaan, periode kemunduran, periode
pembangunan kembali.
Daftar Pustaka
Koto, Alaidin,
2004, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Rajawali Press Jakarta
islam
Wikipedia.com/18/05/10
Ensklopedia
Islam.com/18/05/10
Google.com/18/05/10
Ibnu Al Qayyim, I’lam
Al Muwaqqi’in, Dar Al Kutub Al Haditsah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar