Zakat Sebagai Solusi Distribusi Kekayaan
Yang Adil
Seperti di kemukakan oleh Ibnu Khaldun, harta
benda itu selalu beredar di antara penguasa dan rakyat. Ironisnya, negara yang
menjadi pasar paling besar, sehingga rakyat kehilangan sirkulasi kekayaan secara
merata. Karena itu, semangat zakat dalam Islam adalah berbagi kenikmatan,
kebahagiaan, dan kekayaan antar manusia. Inilah yang disebut pemeratan
pertumbuhan ekonomi bagi semua lapisan masyarakat. Bukan lagi pemusatan
kekayaan di kalangan segelintir orang yang berkuasa dan memiliki modal.
Sudah menjadi fakta, bahwa kegiatan ekonomi sekarang telah melahirkan kesenjangan pendapatan yang semakin lebar dan makin besar. Misalnya, sebagaimana dikemukakan oleh UNDP (United Nations Depelopment Programme). Berdasarkan laporan tersebut, 10 persen kelompok kaya dunia menguasai 54 persen total kekayaan dunia. Sedangkan sisanya 90 persen masyarakat dunia menguasai 46 persen total kekayaan dunia.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan besarnya kesenjangan pendapatan tersebut adalah karena ketiadaan mekanisme distribusi kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok. Padahal Allah SWT sangat menentang perputaran harta di tangan kelompok elit masyarakat saja, sebagaimana yang dinyatakan-Nya dalam Al-Qur’an “..supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..” (QS. Al-Hasyr : 7)
Dalam ajaran Islam, salah satu mekanisme distribusi pendapatan dan kekayaan ini adalah melalui instrumen zakat, infaq dan sedekah. Rosulullah SAW, dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Ashbahani dari Imam Thabrani, menyatakan : “SesungguhnyaAllah SWT telah telah mewajibkan atas hartawan muslimin suatu kewajiban zakat yang dapat mnaggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seoarang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang amat pedih.”
Hadits tersebut memberikan dua isyarat. Pertama, kemiskinan bukanlah semata-mata disebabkan oleh kemalasan untuk bekerja (kemiskinan kultural), akan tetapi juga akibat dari pola kehidupan yang tidak adil (kemiskinan struktural) dan merosotnya kesetiakawanan sosial, terutama antara kelompok kaya dan kelompok miskin.
Kedua, jika zakat dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan dikelola dengan baik, apakah dalam aspek pengumpulan ataupun dalam aspek pendistribusiannya, kemiskinan dan kefakiran ini akan dapat ditanggulangi, paling tidak dapat diperkecil. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadts, zakat, infaq dan sedekah ini disamping sering digandengkan dengan sholat, juga digandengkan dengan kegiatan riba, misalnya dalam QS. Ar-Rum : 39 dan QS. Al-Baqoroh : 276. Hal ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi zakat akan memperkecil kegiatan ekonomi yang bersifat ribawi.
Inilah tantangan kita agar zakat menjadi institusi strategis bagi penciptaan sistem ekonomi yang adil dan bertanggung jawab, bukan sekedar pemberian untuk menghibur. Tetapi memiliki fungsi lebih luas lagi yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat berbasis keadilan. Inilah yang menjadi inti ajaran zakat dalam dimensi Islam secara sosial.
Sudah menjadi fakta, bahwa kegiatan ekonomi sekarang telah melahirkan kesenjangan pendapatan yang semakin lebar dan makin besar. Misalnya, sebagaimana dikemukakan oleh UNDP (United Nations Depelopment Programme). Berdasarkan laporan tersebut, 10 persen kelompok kaya dunia menguasai 54 persen total kekayaan dunia. Sedangkan sisanya 90 persen masyarakat dunia menguasai 46 persen total kekayaan dunia.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan besarnya kesenjangan pendapatan tersebut adalah karena ketiadaan mekanisme distribusi kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok. Padahal Allah SWT sangat menentang perputaran harta di tangan kelompok elit masyarakat saja, sebagaimana yang dinyatakan-Nya dalam Al-Qur’an “..supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..” (QS. Al-Hasyr : 7)
Dalam ajaran Islam, salah satu mekanisme distribusi pendapatan dan kekayaan ini adalah melalui instrumen zakat, infaq dan sedekah. Rosulullah SAW, dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Ashbahani dari Imam Thabrani, menyatakan : “SesungguhnyaAllah SWT telah telah mewajibkan atas hartawan muslimin suatu kewajiban zakat yang dapat mnaggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seoarang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang amat pedih.”
Hadits tersebut memberikan dua isyarat. Pertama, kemiskinan bukanlah semata-mata disebabkan oleh kemalasan untuk bekerja (kemiskinan kultural), akan tetapi juga akibat dari pola kehidupan yang tidak adil (kemiskinan struktural) dan merosotnya kesetiakawanan sosial, terutama antara kelompok kaya dan kelompok miskin.
Kedua, jika zakat dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan dikelola dengan baik, apakah dalam aspek pengumpulan ataupun dalam aspek pendistribusiannya, kemiskinan dan kefakiran ini akan dapat ditanggulangi, paling tidak dapat diperkecil. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadts, zakat, infaq dan sedekah ini disamping sering digandengkan dengan sholat, juga digandengkan dengan kegiatan riba, misalnya dalam QS. Ar-Rum : 39 dan QS. Al-Baqoroh : 276. Hal ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi zakat akan memperkecil kegiatan ekonomi yang bersifat ribawi.
Inilah tantangan kita agar zakat menjadi institusi strategis bagi penciptaan sistem ekonomi yang adil dan bertanggung jawab, bukan sekedar pemberian untuk menghibur. Tetapi memiliki fungsi lebih luas lagi yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat berbasis keadilan. Inilah yang menjadi inti ajaran zakat dalam dimensi Islam secara sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar